Artikel | Jatimsatunews.com: Saat bersekolah di Stovia, laki-laki berusia 16 tahun itu tak pernah memakai blangkon seperti keluarganya sebagai keturunan priayi di Yogyakarta. Ia lebih memilih memakai udeng kain batik biasa sebagai penutup kepala. Dilakukannya, untuk menghindari saling ejek dan diskriminasi perbedaan kelas sosial antar pelajar. Sejak muda, karakter bersahaja sudah melekat dalam dirinya. Kerendahan hatinya semakin tampak jelas, puncaknya saat usianya 39 tahun. Pria itu mengganti nama kecilnya sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Yang kini bangsa Indonesia memberinya gelar sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Dikisahkan di buku biografinya yang berjudul “Soewardi Soerjaningrat Dalam Pengasingan”, Ki Hadjar Dewantara melakukan pergantian nama agar ia dapat benar-benar menyatu dan bergaul sama rakyat biasa. Dengan begitu, perjuangannya melakukan perlawanan terhadap penjajah, yakni Belanda yang membuat sistem pemerintahan Hindia Belanda (kini Indonesia), dapat disokong dengan kekuatan persatuan rakyat. Pria yang mempunyai garis keturunan dari Sunan Kalijaga ini mempunyai karakter berikhtiar yang sangat kuat. Dengan segala keterbatasan dan dalam bayang-bayang ancaman pemerintah Hindia Belanda, saat usianya menginjak 33 tahun, yakni tahun 1922, nekat mendirikan sekolah bernama Taman Siswa. Pendirian sekolah itu mempunyai tujuan memberikan kesadaran akan pentingnya kemerdekaan bagi rakyat Hindia (pribumi Indonesia).
Masa Kecil Yang Berani
Meskipun Ki Hadjar Dewantara kecil keturunan bangsawan, namun ia terbiasa bermain dengan orang-orang non bangsawan. Pada suatu waktu, pria pemberani ini pernah memanjat pohon dan mengambil buah-buahan untuk sengaja dibagikan kepada anak-anak kecil yang rumahnya disekitaran Pura Paku Alaman Yogyakarta. Saat kecil juga sering sekali berkelahi dengan anak-anak keturunan Belanda. Dari sana, dapat dilihat bahwa Ki Hadjar Dewantara kecil sudah sadar tentang kemerdekaan dan melawan imperialisme Belanda. Begitu menginjak usia remaja, ia menjadi korespondensi penulis untuk surat kabar De Express. Kesempatannya sebagai jurnalis itu digunakan untuk mempropaganda masyarakat agar sadar tentang pentingnya melawan penjajah. Tulisannya banyak memuat tentang ide-ide tentang sosial dan politik. Lebih khusus, tulisan yang berisi tentang semangat kemerdekaan yang tentunya menggoyahkan posisi nyaman Belanda sebagai penjajah di Indonesia. Sejak saat inilah, kerepotan dimulai.
Goresan Tinta Yang Tajam
Ki Hadjar Dewantara pernah membuat tulisan tajam bernada satire terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tulisan ini benar-benar membuat pemerintah geram. Bahkan sampai terdengar oleh pemerintah Hindia Belanda yang ada di Negara asalnya sana, Belanda. Cerita bermula dari rencana akan diadakannya peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penindasan Perancis. Oleh pemerintah Hindia Belanda, peranyaan itu juga akan dirayakan di Hindia Belanda bersama orang pribumi, bahkan masyarakat pribumi diharuskan ikut membayar iuran yang dipungut secara paksa. Ki Hadjar Dewantara dan kawannya yang dikenal sebagai pahlawan asal Pasuruan, Ernest Francois Eugene (E.F.E) Douwes Dekker mengkritik pungutan paksa itu. Awalnya dimulai dari tulisan E.F.E Douwes Dekker yang terang-terangan menyasar kritik terhadap Belanda. Ia mengatakan kalau tidak pantas Belanda merayakan kemerdekaan dengan orang pribumi. Harusnya dilakukan ditempat mereka sendiri, bebas berpesta tanpa melibatkan pribumi.
Berbeda dengan kritik yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan bahasa Belanda “Als Ik Eeens Nederlander Was” yang diterjemahkan oleh kawannya Abdoel Moeis dengan judul “Andaikata Aku Seorang Belanda”. Dicetak dalam dua bahasa, Belanda dan melayu dengan jumlah 5000 eksemplar. Tulisan itu adalah produk selebaran pertama yang diproduksi oleh Comite Boemi Poetra, suatu komite yang didalamnya terdapat beberapa tokoh pergerakan nasional lainnya selain Ki Hadjar Dewantara, yakni Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, E.F.E Douwes Dekker, Abdoel Moeis, dan A.H Wignyadisastra. Dibentuknya komite adalah untuk merespon kebijakan Belanda merayakan kemerdekanya. Namun umur Boemi Poetra tidak panjang, dibubarkan oleh pemerintah karena memuat tulisan Ki Hadjar Dewantara dianggap bahaya.
Tulisan yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara sifatnya kritik. Namun tidak dengan cara terang-terangan. Melainkan menulisnya dengan perumpamaan. Sungguh cerdik. Ia menulis bercerita seumpama ia sebagai orang Belanda. Isi tulisannya semacam; jika jadi orang Belanda sendiri, Ki Hadjar Dewantara akan menolak kebijakan pemerintah dan tidak akan menghina rakyat Hindia. Karena mana mungkin merayakan kemerdekaan dengan cara menari di atas penderitaan orang lain yang sedang terjajah, parahnya lagi mengajak orang yang terjajah tersebut untuk wajib ikut terlibat memeriahkan perayaan. Salah satu kutipan penutup tulisannya yang panjang itu seperti ini:
“…Andaikata akoe seorang Belanda, akoe tidak akan merajakan perajaan itoe di dalam negeri yang sedang kami djadjah. Pertama, kami harus memberikan kemerdekaan kepada rakjat yang kami djadjah, kemoedian baroe memperingati kemerdekaan kami sendiri…”
Tulisan itu tersebar, membuatnya dikenal banyak orang. Tulisannya berupaya menyadarkan rakyat pribumi untuk memahami bahwa kemerdekaan itu penting. Sudah tentu, pasti ada konsekuensi yang harus dihadapi oleh Comite Boemi Poetra, khususnya Ki Hadjar Dewantara sebagai penulis. Tidak lama, pemerintah Hindia Belanda naik pitam dan segera berupaya menyita sisa-sisa brosur dan berupaya menjebloskan Ki Hadjar Dewantara bersama kawan-kawannya ke dalam penjara. Dalam persidangan, dituduh sengaja menghasut pribumi agar melakukan kerusuhan dan mengganggu ketertiban. Padahal jelas, maksud dari Ki Hadjar Dewantara adalah ingin mengungkapkan perasaannya sebagai manusia terjajah. Terlebih, perasaan ini tentunya sama dengan apa yang dirasakan oleh rakyat pribumi lainnya.
Perkara tulisan ini dibahas pengadilan di Bandung. Sampai-sampai pemerintahan pada waktu itu dibuat sibuk bak sebuah istana yang sedang diberondong peluru oleh musuh. Berita tersiar hingga Yogyakarta bahwa Ki Hadjar Dewantara telah melakukan pemberontakan. Bukannya tunduk, teman Ki Hadjar Dewantara, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo malah menerbitkan tulisan yang pedas pula. Dengan berapi-api tulisan itu tegas menyatakan bahwa kaumnya adalah yang berhak merdeka atas Hindia Belanda sendiri sebagai pemilik tanah air. “Meskipun tanpa senjata, golongan pribumi akan tetap berjuang. Kita mempunyai kekuatan!,” serunya.
Karena ulahnya, Dr. Tjiptomangunkusumo, E.F.E Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara di buang di Belanda. Namun ternyata tiga orang yang dikemudian hari disebut sebagai Tiga Serangkai itu, justru semakin membahayakan Belanda. Senjata makan tuan. Di Belanda, mereka malah lebih leluasa melakukan aktivitas politik dan mencari dukungan dari orang Hindia Belanda yang di Belanda maupun orang Belanda sendiri. Tiga orang buangan itu meleburkan diri dalam Indische Vereeniging, sebuah wadah persatuan mahasiswa Hindia Belanda. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara menjadi jurnalis koresponden di berbagai surat kabar. Banyak pers di sana yang kagum dengannya. Bahkan hingga mendirikan kantor berita sendiri bernama Indonesisch Pers Bureau.
Melalui tulisan, Ki hadjar Dewantara benar-benar dapat mengekspresikan perasaannya tentang kenapa Hindia Belanda harus merdeka dan menjadi Negara sendiri. Dengan begitu, celakalah bagi keputusan Belanda bahwa membuang ke tiga orang itu ke Belanda adalah tindakan yang fatal. Justru, semangat anti kolonialismenya semakin matang. Di sana juga banyak membaca buku-buku yang tidak mudah didapatkan di Hindia Belanda. Setelah menjalani masa hukuman pembuangan di Belanda Pria kelahiran 2 Mei 1889 itu sejak tahun 1919 membawa kematangan berpikir dan bertindak yang ditempanya selama di tempat pembuangan, dan melanjutkan perjuangan di Hindia Belanda dengan mendirikan Taman Siswa dan terus berjuang hingga Indonesia merdeka.
Yang Bisa Kita Tiru Dari Sosok Ki Hadjar Dewantara
Begitu menantang perjalanan bapak pendidikan kita. Dari situ, kita melihat bahwa literasilah yang cukup berpengaruh pada tindakan yang diambil Ki Hajar Dewantara. Berjuang demi kemerdekaan tidak melulu perihal pertempuran fisik, demonstrasi jalanan, apalagi masuk partai politik. Meskipun begitu, bukan berarti cara-cara itu tidak dianjurkan, namun ada banyak opsi yang bisa kita lakukan untuk berjuang yaitu dengan cara menulis. Kita tahu, meskipun bangsa ini sudah merdeka, namun masih banyak masalah yang menyelimuti dan berpengaruh pada kehidupan kita sebagai warga negara. Maka menulis adalah salah satu sarana bersuara demi perbaikan masalah bangsa ini. Menulis memang agaknya cara yang tidak biasa dilakukan oleh masyarakat kita. Apalagi, bangsa kita ini masih punya PR yang besar soal indeks melek baca. Namun kita harus mulai mencoba untuk menempuh jalan seperti yang telah dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara. Tentu saja, menulis apa-apa saja yang menjadi keresahan kita adalah modal utamanya. Tapi perlu diperhatikan, harus diimbangi dengan banyak referensi.
Menulis tidak harus dengan gaya esai seperti pada gaya tulisan kritik yang umum. Namun bisa kita lakukan seperti yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara dengan cara mengambil jalur sastra sebagai lintasannya. Bisa dengan puisi, bagi yang suka dengan permainan diksi. Atau bisa dengan cerpen non-fiksi bagi yang suka menyelam di dunia imajinasi. Oh ya, jangan lupa untuk sebisa mungkin hindari jeratan-jeratan pasal karet dalam UU ITE. sekalipun tulisan kita mengandung nilai-nilai kebenaran kita harus tetap waspada.
Cara lain di samping membuat tulisan, ya kita perlu membuat atau bergabung dengan organisasi seperti juga yang telah dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dengan berorganisasi kita dapat menemukan arena untuk saling bertukar pendapat dan mengasah ilmu pengetahuan. Seseorang dengan ilmu yang melimpah, akan membuat seseorang tersebut memiliki daya kepekaan yang tinggi terhadap hal-hal yang tidak beres. Untuk itu dengan ilmu dan kepekaan yang kita miliki, seseorang dapat mentransfernya dari dalam dirinya untuk keluar dengan cara menulis dan memberikan hal positif bagi perbaikan-perbaikan hal yang tidak beres.
Penulis
Nama : Ugik Endarto