Penulis: Septaria Yusnaeni (Volunteer JPPR Kabupaten Pasuruan) |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Napoleon Bonaparte, Pemimpin, Pahlawan Perancis pernah mengatakan,"Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan."
Pemilihan umum adalah proses penting untuk memilih pemimpin bangsa dalam sistem sebuah negara demokrasi. Artinya bahwa ini adalah sebuah proses melembagakan konflik kepentingan dengan cara benar dan dewasa untuk memperebutkan kekuasaan, serta dimana rakyat bebas memilih wakil atau pemimpin yang dikehendakinya.
Kemudian perebutan kekuasaan ini agar eskalasi gesekannya tetap terkendali dan dalam batas yang wajar serta terjadi kontestasi yang adil dan beradab maka diciptakanlah regulasi pemilihan umum sebagai aturan main (rule of the law).
Dari tiga pemilu (Pilpres, Pilkada dan Pileg) Pemilihan Legislatif yang paling rentan terjadi konflik horizontal akar rumput yang kerap kali menimbulkan permusuhan bahkan konflik fisik antar tetangga dan saudara. Karena mayoritas calon legislatif adalah saudara dan tetangga mereka sendiri yang memiliki kedekatan emosional kekerabatan, organisasi dan jalinan ideologis. Disinilah banyak hal bisa terjadi mulai intimidasi, money politic sampai menunggangi penyelenggara pemilu.
Kabupaten Pasuruan memiliki sejarah yang tidak menyenangkan soal upaya kecurangan Pemilu Legislatif. Tahun 2014 adalah pemilu paling heboh di Kabupaten Pasuruan sepanjang era reformasi ini. Betapa tidak, saat itu publik dihebohkan oleh peristiwa upaya pencurian suara melalui suap yang dilakukan salah satu caleg berinisial T kepada 11 Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Itu artinya bahwa hampir setengah ketua Panitia Pemilihan Kecamatan berhasil tersuap oleh salah satu peserta calon anggota Legislatif. Kasus ini begitu heboh membuat publik terkejut bahkan ada wartawan asing yang tertarik untuk melakukan investigasi kasus ini.
Beberapa orang terkejutnya bukan soal penyuapan, tetapi terkejut kenapa upaya begini kok bisa terbongkar. Bisa jadi ini hanya puncak gunung es yang tampak sedikit, tetapi sesungguhnya yang tidak tampak lebih dahsyat dari itu. Bisa dibayangkan kursi DPRD Kabupaten Pasuruan yang diperebutkan hanya 50 kursi, bila 8 Partai mengajukan calon 50 orang maka akan ada 400 orang memperebutkan 50 kursi. Itu sama dengan tingkat keberhasilannya hanya sepuluh koma sekian persen. Oleh karena itu apapun akan dilakukan.
Realitas empiris hari ini memang jual beli suara antara Caleg dan Pemilih telah dianggap sesuatu yang wajar dan etis, bahkan justru dianggap tidak etis bila ada Caleg minta tolong carikan suara tanpa memberi sesuatu yang bersifat materi. Karena logika yang dibangun publik adalah para Caleg itu sedang ingin mencari jabatan dan pekerjaan yang lebih menggiurkan. Maka transaksional/ money politic peserta dan pemilih dianggap sebagai hal yang wajar bahkan terkadang menjadi sebuah keharusan. Inilah kemudian mereka menyebutnya sebagai Pesta Rakyat karena Pemilu merupakan satu-satunya momen dimana rakyat dihargai dan disuap. Budaya ini semakin masif dan menggila dari pemilu ke pemilu, kita nyaris tidak menganggapnya sebagai dekandensi moral.
Maka wajar kemudian banyak muncul kasus DPR terlibat kasus korupsi sebagai upaya mengembalikan dana selama proses kampanye. Sungguh kita tidak bisa berharap banyak pada kualitas pemimpin selama tradisi ini terus berkembang. Untuk itu harus ada upaya lebih dari sekedar pendekatan intervensi hukum dan regulatif, terbukti selama ini pidana pemilu hampir tidak berdaya menghadapi pola money politic ini sebab mayoritas rakyat (saudara dan tetangga kita sendiri) menginginkan itu. Inilah pesta rakyat, tanpa amplop jangan harap dipilih itulah moto pemilih.
Negara ini sudah masuk pada liberalisasi dan kapitalisasi pemilu, konsekuensi logis dari pola ini akan selalu menghasilkan para kapital (orang kaya) menjadi pemenang pemilu bukan orang yang memiliki kualitas kepemimpinan. Perebutan kuantitas suara dengan modal besar akan memberangus hasil kualitas. Kemudian pertanyaan pentingnya adalah apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada tiga hal harus dilakukan,
Pertama, tentu memperkuat supremasi hukum dengan cara memperketat pengawasan dan memperbanyak pengawas pemilu lapangan untuk penegakan hukum pidana pemilu.
Kedua penting untuk dilakukan pendidikan pemilu bagi pemilih terutama segmen pemilih pemula. Semua orang pasti tahu money politic itu salah, tetapi itu tidak berbanding lurus dengan kesadaran untuk mengatakan tidak pada pada Caleg yang berupaya melakukan transaksi jual beli suara. Bagaimana mungkin akan melakukan perbaikan pada proses bernegara ini tatkala pemimpin pemerintahan diatur oleh orang yang terpilihnya saja dari sebuah proses transaksional.
Capacity building yang outputnya kesadaran memilih tanpa transaksi yang tersublimasi menjadi kesadaran memilih tanpa transaksi. Satu satunya harga yang layak untuk suara rakyat adalah menukarnya dengan pemimpin yang bila memimpin mampu menciptakan regulai perlindungan sosial, memberi kesejahteraan dalam waktu lebih lama dari jabatannya.
Yang ketiga, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama melakukan pengawasan pada kecurangan peserta pemilu dan melaporkan setiap pelanggaran. Sebab jumlah pengawas pemilu tentu tidak akan maksimal mengawasi kuantitas tim sukses. Andai jumlah Caleg 400 orang, dan masing-masing Caleg memiliki 5 orang dikali 24 kelurahan dan 341 desa. Maka akan ada 730.000 orang yang harus diawasi oleh organ Bawaslu selama 24 jam. Kenapa 24 jam? Sebab kerja mereka mencari suara memang 24 jam. Mampukah? Tentu tidak, maka menjadi penting melibatkan masyarakat untuk berperan aktif mengawal Pemilu. Dengan cara memberi reward bagi yang mau melapor, dijamin keamanannya dan ada perlindungan hukum bagi para pelapor.
Tiga hal ini cukup rasional dilakukan untuk intervensi skenario perubahan sosial menuju Pemilu yang adil dan beradab untuk menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas.