Kasus E bin S menjadi salah satu yang disetujui Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana untuk Restorative Justice bersama 12 kasus lain pada Selasa 23/3/2023.
Ego sendiri disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Adanya proses perdamaian yang menyebabkan ajuan Restorative Justice itu bisa terjadi. Dimana tersangka E bin S telah meminta maaf pada korban dan sebaliknya. korban juga sudah memberikan permohonan maaf pada E bin S, sehingga memunculkan peluang RJ.
Diketahui Restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan, namun tata pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum dilakukan secara optimal.
Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Hal ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482, KUHP konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta.
Dalam kaitan tersebut Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana juga menyetujui 12 permohonan lain selain kasus E bin S, sehingga total jumlah ada 13 penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Adapun 12 tersangka dengan kasus dan asal penanganannya dari seluruh Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Tersangka FAHRIYANNOR bin RUSLAN dari Kejaksaan Negeri Tanah Laut yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Tersangka MICHAEL MUYU dari Kejaksaan Negeri Minahasa yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka ANDRE KURNIA REPPI dari Kejaksaan Negeri Minahasa yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka ALDO GIJOH dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka ANDRE MELIANO MELIALA dari Kejaksaan Negeri Langkat yang disangka melanggar Pasal 362 jo. Pasal 367 Ayat (2) KUHP tentang Pencurian dalam Keluarga.
6. Tersangka TAQWIM QOIROMDONI dari Kejaksaan Negeri Batu yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
7. Tersangka LANGGENG INSANI bin (alm.) SANIMAN dari Kejaksaan Negeri Blitar yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
8. Tersangka SUKOLIS dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-5 KUHP jo. Pasal 53 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
9. Tersangka JOPIE AMIR bin (alm) AMIRUDIN dari Kejaksaan Negeri Kota Tangerang yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
10. Tersangka PABUADI bin (alm) SUSMONO dari Kejaksaan Negeri Kota Tangerang yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
11. Tersangka MIMA KADARWATI alias IMA binti UKAT SUHAERUL dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang yang disangka melanggar Pasal 480 KUHP tentang Penadahan.
12. Tersangka SEPTHIMAS YONEFRITA binti MAS HERDI dari Kejaksaan Negeri Metro yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini sebagaimana dijelaskan Kapuspenkum Kejagung Dr. Ketut Sumedana antara lain adalah karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum
tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Disamping hal tersebut diatas alasan lain adalah karena tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif.
"Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum," papar Dr.Ketut Sumedana.