Ning Lia (kerudung Merah) Saa mendampingi Ibu Gubernur Khofifah Indar Parawansah (kerudung Putih) |
SURABAYA I JATIMSATUNEWS.COM: Lia Istifhama namanya, akrab dipanggil sebagai Ning Lia tersebab ayahnya adalah ulama besar almarhum KH Masykur Hasyim, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Roudlotul Banin Wal Banat. 2 hal sedang menjadi fokus konsentrasinya kini. Yakni pencalonannya sebagai anggota DPD RI dan berhadapan kasus dengan mafia tanah yang mengancam keberlangsungan peninggalan pesantren sang ayah.
Sempat dinyatakan Belum Memenuhi Syarat (BMS), keponakan Gubernur Jatim Khofifah, aktivis perempuan asal Wonocolo Surabaya, Lia Istifhama, akhirnya lolos dalam pemenuhan syarat dukungan pada tingkat Verifikasi Administratif (Vermin) Perbaikan Kedua.
Hal ini sesuai dengan hasil rekapitulasi yang digelar oleh KPU Jawa Timur, pimpinan Choirul Anam pada Jumat (24/3/23) di hadapan KPUD se Jawa Timur dan juga LO (Liaison Officer) dari 14 bacalon yang mengikuti tahapan perbaikan kedua.
Ning Lia melaju, gerbang peluang menjadi anggota Dewan Lewat jalur DPD terbuka sekian persen. Tinggal beberapa langkah dengan penentuan tahun 2024.
Meski sukses karir politiknya bukan berarti Ning Lia tanpa ujian. Sebuah perkara besar sedang dihadapi. Mafia tanah dia menyebutnya, akan dihadapi dengan perkasa. Tak gentar meskipun jalan terjal di depan mata. Semua demi menyelamatkan aset peninggalan orang tua.
Masalah yang dihadapi berkaitan langsung dengan peninggalan paling berharga almarhum, yakni aset pesantren, jumlah nominal angka pun tidak main-main. Bilangannya mencapai milyaran.
Ning Lia kini sedang melawan sindikat penipuan yang menjadikan Pondok Pesantren Mahasiswa Roudlotul Banin Wal Banat terjebak dalam sengketa hukum.
“Ayah saya telah menutup mata dengan begitu indah pada 2 April 2020 lalu. Dua minggu sebelum wafat, saya pernah berjanji pada beliau bahwa masalah yang beliau hadapi, pasti akan selesai. Jadi janji tersebut harus mampu saya tepati. Apalagi, sebelum wafat, beliau pernah mengutarakan pada penjual soto depan rumah, bahwa beliau selalu kepikiran keadaan’ kami, yaitu ibu saya dan semua kakak kandung saya,” ujarnya.
Kisahnya, sang ibunda Ning Lia Hj. Aisyah, istri KH. Masykur Hasyim pada tahap awal telah gagal memperjuangkan haknya atas asset pondok pesantren yang berlokasi di Jemurwonosari 54 Surabaya di Pengadilan Negeri Surabaya. Terkini masih menunggu proses Banding di Pengadilan Tinggi.
"Januari lalu putusan di PN Surabaya ternyata belum menjadi hadiah indah atas proses perjuangan yang sudah berjalan sejak 2015 lalu. Tepatnya sejak sertifikat ponpes dibawa orang yang mengakui sebagai pembeli aset ponpes. Perjuangan ini sangat panjang, unik, dan rumit. Bahkan, kebenaran dan nalar logika seakan tidak memberikan mata hati penegak hukum,” tegas Bing Lia.
Secara rinci, detail kebenaran menurutnya dikaburkan oleh pihak tertentu. Dari perjanjian hutang piutang menjadi jual beli.
“Kejadian yang menimpa pesantren, hasil kerjasama sindikat yang licik dan terkoordinir dengan rapi. Dalam hal pembuatan perjanjian jual beli, bagaimana bisa sebuah perjanjian yang secara lisan notaris menyampaikan pada orang tua saya bahwa ini perjanjian utang piutang, tapi kemudian kok menjadi jual beli? Sedangkan, orang tua saya tidak menyiapkan dokumen seperti halnya pihak penjual, seperti bukti pembayaran PBB dan sebagainya, termasuk proses negosiasi harga karena memang tidak ada tujuan kesitu,” papar Ning Lia.
Hal kedua adalah pembuatan rekening Bank.
"Bagaimana bisa oknum pegawai Bank tersebut membuatkan rekening sedangkan ayah saya tidak tahu ada rekening atas nama beliau? Jadi tidak pernah ayah saya datang ke kantor cabang tersebut untuk tanda tangan sebuah rekening terkait ponpes itu. Namun tiba-tiba sudah ada rekening dan Andreas yang mengaku beli ponpes, mengirimkan dana ke rekening tersebut tanpa konfirmasi ke orang tua saya, melainkan pada Prayogi Utomo, teman si Andreas yang sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka, sehingga uang pun bisa langsung dicairkan oleh Prayogi tanpa sama sekali pihak bank menghubungi orang tua saya bahwa ada rekening tersebut, apalagi terkait aliran dana,” keluh Ning Lia.
Mengalami laiknya mimpi buruk, bagi Ning Lia adalah Kewajiban utama bagi anak agar memperjuangkan hak orang tuanya, apalagi jika salah satunya telah meninggal dunia.
"Ayah saya telah wafat, dan wajib bagi kami, anak-anaknya, agar memperjuangkan hak beliau, yaitu mimpi beliau agar pondok pesantren tetap berjalan sebagai ponpes dan melawan fitnah yang selama ini dibangun oleh sindikat penipuan tersebut,”
“Harapan saya, kisah ini menjadi pengingat agar kita semua yang masih hidup, jangan gentar membela orang tua, apalagi jika orang tua kIta sudah wafat. Karena bakti anak tidak boleh putus, melainkan penting sekali untuk tetap bersemangat, berjuang agar orang tua kita bisa tersenyum bahagia melihat hasil perjuangan kita kelak,”
jelas Ning Lia terus menyemangati diri untuk pantang menyerah atas kasus yang kemungkinannya adalah Kasasi MA.
Ning berujar akan perkasa menghadapi masalah ini dalam keadaan bertempur pula meraih kursi di Senayan.
Bismiilahtuturnya menutup wawancara.