Mau Memilih Jurus Apa, (gambar hanya ilustrasi)
Oleh: A. Saifullah Syahid
LITERASI | JATIMSATUNEWS.COM: Sebelum memilih jurus yang tepat untuk mengasah keterampilan menulis, kita tengok dulu dunia atletik cabang lari cepat. Dalam hitungan detik pelari harus mencapai garis finis. Kecepatan berlari dalam hitungan detik merupakan hasil dari disiplin latihan yang ketat dan panjang.
Tidak jauh berbeda dengan seorang penulis cerpen. Berhubung menulis cerita bukan pekerjaan mudah, maka kita memerlukan latihan dasar-dasar menulis. Piawai menulis cerita merupakan buah dari konsistensi disiplin melatih diri.
Apa latihan dasarnya? Latihan dasar menulis cerita adalah latihan menulis itu sendiri. Tak ubahnya software desain bagi seorang desainer grafis, keterampilan menulis adalah perangkat lunak yang dibutuhkan seorang penulis. Mengusai software menulis dapat mengatasi hambatan yang kerap dijumpai sebelum atau pada saat menulis.
Hambatan menulis (writer’s block), di antaranya saya sarikan dari pendapat Hernowo, adalah mengalami kemacetan atau kebuntuan menulis; kondisi ketika pikiran dalam keadaan kosong-melompong (blank) dan merasakan secara nyata bahwa tidak ada yang dituliskan; bingung mau menulis apa dan dari mana memulai menulis.
Untuk mengatasi hambatan menulis Anda bisa menggunakan, misalnya writing toolbox seperti yang ditawarkan Hernowo. Atau Anda nekat saja, pokoknya langsung menulis. Bagaimana jika pikiran sedang blank? Biasanya kondisi itu dipicu oleh stok pengalaman yang sedang kosong sehingga mesin kreativitas macet.
Pertarungan ini memang tidak mudah. Membiasakan perilaku baru—rutin menulis, misalnya dua jam sehari—tidak segampang membalik tangan.
Kaum behavioris memberikan panduan yang disingkat P-P-A (Perilaku, Pemicu, Akibat). Tetapkan perilaku baru secara jelas, konkret dan detail. Misalnya, “Setiap selesai mengerjakan shalat shubuh saya menulis selama satu jam.” Jangan menggunakan kalimat yang normatif dan penuh lubang, misalnya: “Mulai hari ini saya akan rajin menulis.”
Ciptakan pemicu yang tepat untuk membentuk perilaku baru. Rajin membaca buku, jalan-jalan pada pagi hari, traveling, berdiskusi dengan teman adalah pemicu sekaligus pemantik yang bisa menyalakan mesin kreativitas. Anda bisa niteni pemicu yang tepat, efektif dan efisien agar semangat menulis tidak padam.
Dua poin langkah itu, perilaku baru dan pemicu yang tepat, akan tersendat-sendat jalannya jika Anda tidak menemukan akibat yang positif dan menyenangkan.
Jadi, menulislah dengan hati gembira. Rasakan sensasi “plong” setelah Anda merampungkan atau menguras isi hati dan pikiran. Buat apa menulis kalau pada saat dan sesudah menulis hati tidak gembira.
Terakhir, untuk melemaskan otot-otot kreativitas penulis cerpen musti juga seorang peneliti yang handal dan peka.
Bukan peneliti dalam arti formal yang bergelut dengan angka atau grafik. Peneliti yang dimaksud adalah peneliti kehidupan.
Gemar mengamati, mencermati, menghayati dan bertanya tentang fenomena di lingkungan terdekat. Rasa ingin tahu seorang penulis harus melejit-lejit.
Penulis cerpen, dengan demikian, adalah seorang pembelajar sejati. Universitasnya adalah kehidupan masyarakat di mana ia hadir di tengah-tengah mereka. Ini semua untuk menunjukkan betapa luas sesungguhnya ilmu dan pengalaman yang dapat digali dan dijadikan sumber inspirasi. Rendra menyebut hal itu sebagai pengalaman sejati.
Dari pengalaman sejati itu penulis cerpen akan menghasilkan karya yang matang dan otentik.
Pada seri berikutnya, kita akan belajar Lima Aturan Cerpen yang “wajib” dipenuhi agar cerita pendek kita bukan hanya sah disebut Cerpen, tetapi juga memikat pembaca. Apa saja lima aturan itu? Ikuti terus serial selanjutnya.