ARTIKEL I JATIMSATUNEWS.COM: Kemajuan teknologi yang dibuat oleh manusia seiring waktu semakin maju dan berkembang. Salah satunya ialah Society 5.0 yang digagas oleh negara Jepang. Konsep ini memungkinkan kita menggunakan ilmu pengetahuan yang berbasis modern seperti IoT, AI dan Robot untuk kebutuhan manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup dengan nyaman dan lebih efektif.
Society 5.0 sendiri baru saja diresmikan 3 tahun yang lalu pada 21 Januari 2019.
Konsep Society 5.0 sendiri merupakan penyempurnaan dari konsep-konsep yang ada sebelumnya. Seperti kita ketahui, Society 1.0 adalah pada saat manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Society 2.0 adalah era pertanian yakni manusia sudah mengenal bercocok tanam.
Society 3.0 manusia sudah memasuki era industry yaitu Ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk membantu aktivitas sehari-hari. Society 4.0 manusia sudah mengenal computer hingga internet. Society 5.0 ini adalah era semua teknologi menjadi bagian dari manusia itu sendiri, internet bukan hanya digunakan untuk sekedar berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan.
Masa ketika manusia menggantungkan kehidupannya pada teknologi inilah yang mengakibatkan kita dihadapkan pada keharusan untuk selalu siap dengan semua dampak yang disebabkan oleh teknologi yang pastinya selain berdampak positif, teknologi juga ada yang berdampak negatif.
Faktanya, survey telah membuktikan bahwa 37% dari pelajar dan mahasiswa Jawa timur sudah terpapar paham radikalisme dan intoleransi. Paham yang dimaksud adalah paham Takfiri, yaitu sebuah paham yang suka mengkafirkan golongan lain, dan menganggap bid'ah segala hal yang sebetulnya dia sendiri masih belum paham.
Baru-baru ini muncul berita viral, seorang ustadz bernama Sofyan Kholid memaparkan dengan gamblang: "Pancasila itu bid'ah. Orang kafir cinta tanah air, kita cinta madinah".
Menilik dari cuitan tersebut dapat dipahami bahwa kita yang hormat kepada merah putih dianggap kafir semua oleh mereka.
Hal ini sudah sangat jelas dapat merusak kerukunan kita antar beragama di Indonesia. Sebab, bahayanya setelah sah dianggap kafir adalah maka halal pula darahnya untuk dialirkan. Sehingga, tidak sedikit mereka kemudian memasang bom rakitan dan sialnya malah menyerang sesama umat Islam lainnya.
Padahal ciri-ciri ajaran ahlussunnah wal jamaah adalah mencintai negaranya, menjunjung tinggi nilai-nilai egaliter, dan saling menghargai, serta bahu-membahu saling menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Di sinilah peran bekal keimanan dan pengetahuan yang memadai diperlukan untuk dijadikan tameng dalam menanggulangi paham-paham di luar paham aswaja.
Karena bagaimanapun sangat disayangkan kalau yang terpapar paham di luar aswaja malah generasi muda mengingat Syaikh Musthofa Al Ghulayain dalam kitab 'Idhotun Nasyiin' menyebutkan
شُبّانُ الْيَوْمِ رِجالُ الْغَدِ
Artinya: pemuda-pemuda saat ini adalah pemimpin masa depan.
Melalui pepatah Arab tersebut kita diingatkan kembali bahwa betapa pentingnya generasi muda kita demi persatuan dan kesatuan di masa mendatang. Merekalah yang kelak nantinya menjadi penentu nasib suatu negara. Dipundak mereka jua lah beban dan tanggung jawab kesejahteraan umat.
Bahkan dalam sejarahnya dulu, pemuda Indonesia memegang peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui organisasi pergerakan, ide dan gagasan mereka.
Maka ketika generasi muda dinyatakan lemah, maka lemah pula lah negara tersebut. Sebaliknya jika sudah tampak di suatu negara generasi mudanya kuat dan teguh pemahaman agamanya maka kuat pula negara itu nantinya. Maka perlu kiranya mengadakan pembinaan generasi muda guna menanamkan motivasi dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah baru yang bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk itu, ada dua point yang perlu diperhatikan oleh mereka para generasi muda. Yaitu:
1. Tepat memilih guru.
2. Bijak menggunakan media sosial.
Memilih guru yang tepat ini menjadi point pertama dan yang utama, karena sanad keilmuan adalah nilai penting dalam mencari ilmu agama. Oleh karena itu, agama memerintahkan kita untuk lebih selektif dalam mencari dan memilih guru yang tepat sehingga nantinya tidak akan terjerumus dalam pemahaman yang keliru.
Kesimpulan berikutnya adalah sejatinya tersesat memilih guru itu lebih berbahaya dari pada salah pergaulan.
Tidak sedikit yang sudah menamatkan pendidikannya ternyata masih salah pemahamannya. Yang parah adalah ketika mereka salah pemahaman dalam hal aqidah. Pada akhirnya hal tersebut dapat memicu ketegangan secara horizontal di antara sesama saudara muslim.
Seperti yang sering terjadi di negara Indonesia, muncul perbedaan pemahaman antara boleh dan tidaknya mengucapkan selamat natal, pembacaan tahlil, peringatan maulid nabi, ziarah makam para Auliya, dan lain sebagainya.
Termasuk dalam pembahasan ini adalah merenungi peringatan Syekh Samir terhadap muslim Indonesia akan bahaya Wahabi.
"Untuk di Indonesia, Wahabi kerap mendirikan pesantren, lembaga kursus komputer yang di dalamnya mendoktrinkan ajaran ekstrim yang justru bertentangan dengan Aswaja," jelasnya.
Karena itu Syekh Samir menyarankan agar jangan sampai mempercayakan pendidikan dan keterampilan generasi muda kepada mereka yang justru nantinya akan menentang Aswaja.
Bijak menggunakan media sosial menjadi pesan moral yang kedua bagi generasi muda. Demikian karena kalau pun mereka sudah tinggal dalam keluarga yang benar, lingkungan yang religius, dan ditempatkan pada sekolah yang beraliran ahlus Sunnah waljama'ah, maka faktor utama dan satu-satunya jalan yang membuat generasi tersebut akhirnya ikut terpapar paham radikalisme dan intoleransi adalah tidak lain karena mereka salah memilih jalan saat bermedia sosial.
Sebuah wadah bagi seluruh manusia untuk bebas menyebarkan apapun.
Terlebih semakin bertambahnya tahun, media sosial ini pun juga semakin bertambah canggih. Mulai dari sekelas Facebook yang memang muncul pertama kali, sampai dengan kelas Instagram, dan ditambah lagi sekarang aplikasi yang banyak penggunanya adalah aplikasi tiktok.
Berawal dari sini, salah satu tokoh Nahdliyyin --gus Miftah Maulana Habiburrahman-- lantas menghadapkan generasi muda pada beberapa pilihan sebagai berikut:
1. Apakah kita tetap hanya menjadi followers atau kita bisa menjadi trendsetter
2. Apakah kita tetap hanya menjadi Ma'mun atau kita bisa menjadi imam.
3. Apakah kita tetap hanya menjadi penonton atau kita bisa menjadi pemain.
4. Apakah kita tetap hanya menjadi trouble maker atau kita bisa menjadi problem solver.
Beliau lantas berpesan kepada para para siswa-siswi yang kala itu mengikuti talk show kebangsaan di MAN 1 Bojonegoro. Isi pesan beliau adalah, "Beruntung jika kita sudah menjadi icon di media sosial. Semua tinggal bagaimana maunya kita. tapi, alangkah baiknya jika konten kita adalah ke hal-hal yang bersifat positif. Prestasi misalnya.
Bukan malah bikin konten hal negatif, sensasi contohnya. Karena sejatinya pengguna medsos yang selamat adalah mereka yang tahu kapan harus lanjut dan kapan harus berhenti."
Wahabi pun memilih media sosial sebagai senjata utama untuk memperluas wilayah kekuasaan, dan melihat Indonesia sebagai lahan yang paling subur untuk dijadikan target markas terbaru setelah Saudi Arabia.
Adapun ciri-ciri ajaran yang dibawa oleh Wahabi adalah bahwa menegakkan ajaran ahlussunnah itu tidak harus menjadi NU terlebih dahulu. Hal ini tentu sangat bertentangan mengingat organisasi Islam terbesar dan terkuat di Indonesia adalah NU.
Mereka seakan sengaja mengecoh umat Islam supaya tanpa sadar menjauhkan diri dari 'almamater NU' untuk menjadi kelompok 'ahlus Sunnah wal jamaah'. Padahal dibalik itu semua, Wahabi sudah menyiapkan berbagai doktrin yang tentunya bertentangan dengan Aswaja.
Selanjutnya, mengajak anggota yang telah terlepas dari almamater NU itu untuk mencintai negara Islam dengan meninggalkan negaranya sendiri.
Baru-baru ini viral pernyataan berapi-api khatib asal Pamekasan yang mengatakan Kiai Hasyim menolak maulid yang jelas-jelas ciri khas orang NU.
Sebagai generasi yang kebetulan hanya bisa menjadi follower, kita tidak boleh serta-merta menelan statement tersebut tanpa melakukan penalaran terlebih dahulu. Tugas kita para pemuda adalah menghadapi tantangan tersebut dengan melanjutkan semangat mimpi para pahlawan dalam memajukan dan menjaga persatuan Indonesia. Salah satunya dengan pandai-pandai memilih konten atau bahasan di media sosial.
(Fika Uzlah)