ads H Makhrus

 

Pasang iklan disini

 


Hanya di Indonesia, Imlek Memiliki Dua Makna Perayaan

Admin JSN
23 Januari 2023 | 00.46 WIB Last Updated 2023-01-22T17:46:15Z


Artikel I 
JATIMSATUNEWS.COM: Hingga bertahun-tahun berlalu, perdebatan yang sama masih saja muncul. Beberapa saat yang lalu, saya misuh-misuh. Tersebab salah satu kawan saya (yang notabene Tionghoa) tidak mau merayakan imlek. Ia berkelit jika agamanya tidak mengizinkannya untuk merayakan.

Meskipun sedikit kacau, saya juga tidak bisa membantah pernyataan kawan saya itu, karena secara resmi imlek memang adalah hari raya umat agama Konghucu. Tidak bisa dipungkiri, sudah tertuang dalam Kepres No. 6/2000 pada tanggal 17 Januari 2000.

Tulisan ini tidak bermaksud membantah Kepres atau pun mendiskreditkan kelompok agama tertentu. Sejarahnya pun panjang. Pada era orde baru, perayaan imlek adalah hal yang dilarang untuk dilaksanakan di tempat umum.

Dianggap mewakili bahaya laten komunis, yang saat itu memang sedang carut-marutnya. Begitu juga dengan Konghucu, yang tidak dianggap sebagai agama. 

Setelah Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari raya keagamaan Konghucu, dua tahun kemudian pemerintahan Megawati pun menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002. 

Namun, apakah kenyataanya memang demikian?

Seorang sahabat berkata jika gereja tempat ibadahnya telah dihiasi dengan pernak-pernik imlek. Lengkap dengan berbagai jenis aksara China dan juga gambar-gambar berwarna merah imlek.

Lantas Mesjid Cheng Ho di Makassar pun tak mau ketinggalan. Kita bisa melihat bagaimana umat muslim Tionghoa saling beramah-tamah, mengucapkan Gong Xi Fat Choi di sana.

Lebih dari itu, siapa pun tidak dilarang untuk merayakannya. Bukankah sekadar berbagi kue keranjang dan memberikan angpao juga namanya perayaan. Itu berlaku tanpa memandang suku, agama, dan ras. 

Sebelum Dinasti Qing (1644), belum ada penanggalan resmi tentang era tahun baru China ini. Barulah terjadi ketika seorang reformis bernama Kang You-wei (1858-1927) mencetuskan idenya. 

Ia mengusulkan bahwa China seharusnya menggunakan penanggalan berdasarkan tahun kelahiran Konghucu. Yang kemudian kita kenal sebagai Tahun Kongzili dan masih digunakan hingga kini. Sebagai catatan, imlek tahun 2022 adalah 2573 Kongzili. 

Sementara cendekiawan lainnya, Liu Shipei (1882-1913) tidak setuju dan mengusulkan era baru penanggalan seharusnya terhitung dari tahun kelahiran kaisar pertama di China. Yakni, Kaisar Kuning. Penanggalannya disebut dengan era Huangdi. 

Jika mengacu kepada era Huangdi, maka tahun baru imlek 2022 seharusnya adalah 4719 HE. Di Indonesia penanggalan Kongzili yang digunakan, ini juga yang mungkin memaknai hubungan imlek dan Konghucu.

Namun, para penganut Taoisme di belahan dunial lain lebih senang menggunakan era Huangdi. Mereka juga mengklaim nama lain dari era Huangdi adalah Daoli atau Penanggalan Taosime.

Alasannya, Huang Di, kaisar pertama di China adalah simbol kejayaan Suku Han (Tionghoa). Ia juga yang pertama kali mempopulerkan Taoisme bagi masyarakat Tionghoa. Jadi, meskipun tanggal perayaannya sama, penanggalan era bisa saja berbeda. 

Imlek juga memiliki makna lainnya. Dianggap sebagai Perayaan Musim Semi. Tidak berhubungan dengan agama atau keyakinan apapun. Karena masyarakat China adalah masyarakat agraris, maka musim panen pantas dirayakan.

Itulah sebabnya tradisi yang telah berusia ribuan tahun ini juga dirayakan oleh semua warga Tionghoa di seluruh dunia. Tanpa terkecuali.

Sejujurnya, saya berpendapat jika imlek memang tidak berhubungan dengan agama. Tapi, kenapa di Indonesia menjadikannya sebagai perayaan agama?

Sedikit politis mungkin. Hari libur nasional terdiri dari dua jenis, yakni; Hari raya nasional (seperti Tahun Baru, Kemerdekaan, dll), dan keagamaan. 

Tidak ada hari raya kebudayaan.

Jadi, bisakah dibayangkan jika Imlek ditetapkan sebagai hari raya kebudayaan Tionghoa? Lantas bagaimana dengan ratusan suku dengan kebudayaannya masing-masing?

Pertimbangan penganut Konghucu menjadikan imlek sebagai hari raya keagamaannya akhirnya menjadi masuk akal. Sebabnya kelima agama lainnya telah memilikinya. Idul Fitri (Islam), Natal (Kristen dan Katolik), Nyepi (Hindu), dan Waisak (Buddha).

Hingga pada akhirnya, keputusan Presiden memang tidak perlu diubah lagi, dan makna perayaan ini tidak perlu diributkan lagi. 

Jadi, apakah Imlek adalah hari raya keagamaan? Iya, itu adalah hari raya umat Konghucu. Tapi, bagi umat beragama lainnya, Imlek adalah hari besar kebudayaan.

“Gitu aja kok, repot!”

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hanya di Indonesia, Imlek Memiliki Dua Makna Perayaan

Trending Now