Artikel
JATIMSATUNEWS.COM:
LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki latar budaya yang sangat beragam mengenai sukunya, salah satunya adalah tentang suku Jawa dan Sunda yang mana pada zaman dahulu Kerajaan Majapahit menguasai tanah Jawa dan Kerajaan Pajajaran menguasai tanah Sunda.
Pada awalnya Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit berniat untuk meminang permaisuri Kerajaan Pajajaran, Dyah Pitaloka, sekaligus menjalin persekutuan dengan kerajaan tersebut. Akan tetapi patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, memanfaatkan momen tersebut sebagai kesempatan untuk memenuhi sumpahnya menyatukan nusantara. Akibatnya terjadi pertempuran di antara dua kerajaan tersebut yang dikenal dalam sejarah sebagai Perang Bubat (Supriatin, 2018).
Dampak dari perang tersebut memunculkan sebuah mitos yang bertahan hingga era modern saat ini yang menjelaskan bahwa adanya larangan pernikahan antara penduduk Jawa maupun Sunda (Priyono, 2016). Hal ini memunculkan stereotipe antar etnis yang nampak dalam interaksi sosial kedua golongan. Etnis Jawa menilai perempuan Sunda sangat materialistis, sedangkan etnis Sunda menilai jika pemikiran dari pria Jawa masih kolot dan bertindak kasar (B, Irawan, & Siska, 2019).
Dalam fenomena sosial mengenai suku Jawa dan Sunda, stereotipe menjadi salah satu penyebab terbentuknya identitas sosial di samping faktor historis. Meskipun begitu, tidak ditemukan jejak permusuhan yang tersisa dari apa yang telah terjadi antara dua etnis di masa lampau. Hal ini terbukti di sebuah desa Kabupaten Pandeglang Banten, interaksi sosial yang terjadi antara dua etnis bisa dikatakan berjalan cukup baik di samping persepsi beragam yang dirasakan setiap penduduk tanpa melihat masa lalu yang terjadi antar dua etnis (Farhani, 2016).
Faktor Penyebab Eksistensi Mitos
Stereotip yang terjadi di antara dua etnis, yaitu etnis Jawa dan Sunda, merupakan sebuah mitos yang mana hal tersebut berorientasi kepada kepribadian manusia (Tcyhkin, 2015). Hal ini sungguh tepat mengingat bahwa dalam stereotip, kategorisasi in-group terhadap out-group dimulai dari ciri fisik hingga perilaku dari individu maupun golongan. Sehingga bisa disimpulkan mitos tercipta karena alam bawah sadar manusia sendiri (Yahyazade, 2013).
Kondisi lingkungan yang terlalu kompleks membuat manusia menyederhanakan informasi yang diterima dalam lingkungan sekitar dan merekonstruksinya menjadi lebih mudah untuk dikenali (Lippmann, 1922). Ketika etnis Jawa menilai bahwa perempuan etnis Sunda materialistik dan etnis Sunda menilai bahwa pria etnis Jawa adalah pribadi yang kasar merupakan hasil dari penyerapan informasi yang didapat baik dari individu maupun golongan dari in-group.
Dampak penilaian dari masing-masing etnis menyebabkan timbulnya bias kognitif, yang mana hal tersebut merupakan kesalahan sistematis dalam berpikir yang muncul ketika seseorang memproses dan menginterpretasikan informasi dari lingkungan sekitar dan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan penilaian (Mohamed, Yazdanpanah, Saghazadeh, & Rezaei, 2020).
Pola Interaksi Sosial
Interaksi sosial yang terjadi antara etnis Jawa dan Sunda menjadi kunci dalam pematahan stereotip yang berlangsung disebakan oleh mitos. Studi yang dilakukan di salah satu desa Kabupaten Cilacap menemukan bahwa proses akulturasi telah dilakukan sejak lama, baik dari segi upacara adat, kesenian, hingga bahasa (Sholikhah, 2016). Bahkan terdapat akulturasi budaya melalui perkawinan yang terjadi antara etnis Jawa dan Sunda di salah satu daerah Lampung Selatan yang mana dapat dilihat dari tahapan memilih jodoh, lamaran, seserahan, dan pelaksanaan upacara panggih temanten (Marestiana, Imron, & Basri, 2013).
Meskipun interaksi sosial yang dilakukan terlihat baik, namun alangkah baiknya jika tidak melupakan motif serta faktor pendukung maupun penghambat yang terjadi dalam perkawinan antar individu dalam kedua etnis tersebut. Dalam sebuah studi yang dilakukan di salah satu daerah Kabupaten Mesuji hasilnya adalah antara etnis Jawa dan Sunda bisa hidup berdampingan dengan baik hingga bisa melangsungkan pernikahan antar dua suku, yang mana mitos larangan pernikahan antara kedua suku tersebut masih eksis (Pranata, 2017).
Faktor pendukung yang melancarkan proses interaksi sosial antara kedua suku tersebut adalah kesamaan mayoritas agama yang dianut yaitu agama Islam, sedangkan faktor penghambatnya adalah adanya pertikaian yang terjadi antara kedua suku tersebut. Meskipun begitu pola interaksi sosial yang terjadi dalam daerah tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada konflik yang begitu berat.
Hal ini membuktikan bahwa interaksi sosial yang terjadi antara dua suku di beberapa daerah bisa dibilang baik dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda konflik yang cukup serius dan berskala besar.
Khoiruddin Hidayatullah, Ahmad Nadif Muhlisin