Oleh: Rosita Nur Savitri & Yeni Purwanti
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM
Hampir setiap orang mempunyai idola: politikus, pahlawan, senior di sekolah, anggota keluarga, tokoh nasional maupun internasional, artis, dan lain sebagainya. Dorongan untuk mengidolakan tidak memandang usia, dari anak-anak hingga orang dewasa cenderung memiliki kekaguman terhadap seseorang yang kemudian memunculkan sikap mengidolakan. Mengidolakan serupa dengan proses jatuh cinta, yang berawal dari rasa kagum kemudian berkembang menjadi perasaan simpati dan jatuh hati. Perbedaan diantara kedua hal tersebut terletak pada keterikatan emosi antara pasangan dengan idola. Ketertarikan untuk mengagumi tokoh idola bermula dari paparan informasi mengenai tokoh tersebut, kemudian muncul rasa ingin tahu yang lebih dalam mengenai si tokoh sehingga memunculkan perilaku mengumpulkan segala hal yang berkaitan dengan sang tokoh idola. Selain itu, penggemar juga berusaha untuk selalu mendapatkan informasi terkini dari idolanya. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan rasa kagum dan kepedulian pada si tokoh idola (Rani, 2015).
Korean Wave merupakan salah satu budaya populer asal Korea Selatan yang penyebarannya terjadi secara global. Korean Wave identik dengan dunia hiburan yang berkaitan dengan musik, drama, variety show, dan lain-lain. Namun dari beragam produk Korean Wave, musik Korea Selatan atau sering disebut dengan K-Pop memiliki penggemar yang solid. Menurut Nugraini (2016), K-Pop adalah aliran musik yang merupakan gabungan dari beberapa genre musik yang ada. Musik tersebut kemudian dipopulerkan oleh banyak boyband dan girlband yang bernaung dalam berbagai agensi. Terdapat juga solois maupun band yang turut mempopulerkan musik K-pop. Para penggemar K-Pop disebut dengan K-Popers.
K-Popers terdiri dari berbagai kalangan usia dan jenis kelamin, namun mayoritas terdiri dari perempuan dengan rentang usia remaja. Sejalan dengan Dariyo (2004) yang mengungkapkan bahwa remaja rentan terpengaruh oleh perkembangan zaman. Umumnya, K-Popers menyukai K-Pop bukan hanya karena musik yang mereka tawarkan, melainkan juga menyukai para artis yang mempopulerkan musiknya, bahkan sampai tergila-gila. Menurut Yusuf (2014), hal ini lazim terjadi pada masa remaja karena perasaan atau emosi manusia mulai berkembang.
Penggemar K-Pop terkenal dengan kecintaan secara berlebihan terhadap idola. Kecintaan tersebut terkadang diwujudkan dengan munculnya sikap fanatisme terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan idola, sehingga banyak orang awam yang memberikan stereotip terhadap K-Popers. Dampak dari adanya stereotip yaitu dapat memunculkan prasangka bahkan diskriminasi. Masyarakat awam menyebut bahwa K-Popers adalah individu yang fanatik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fanatik diartikan sebagai kepercayaan yang amat kuat terhadap suatu hal. Sikap fanatisme K-Popers ditunjukkan dalam berbagai cara. Misalnya adalah dengan membeli merchandise atau segala sesuatu yang berkaitan dengan idolanya. Tidak jarang juga terjadi perang antarfandom (kelompok penggemar dari suatu grup atau idola). Perang tersebut biasanya dilakukan di media sosial. Masing-masing pihak berusaha membela mati-matian idola mereka agar idolanya tidak dipandang rendah.
Berdasarkan pemaparan fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengungkapkan sikap dan perilaku K-popers serta bagaimana hal tersebut kemudian membentuk stereotip orang awam terhadap fans K-pop.
Identitas Sosial Penggemar K-Pop
Schroy dkk (2016) menyatakan bahwa konsep psikologis penggemar K-Pop dapat merujuk pada individu yang setia, antusias, dan pengagum berat budaya K-Pop. Identitas sosial seorang penggemar K-Pop umumnya terdiri dari fanship dan fandom (Reysen & Branscome, 2010).
Fanship dapat diartikan sebagai keterikatan psikologis individu dengan minat penggemar mereka (Schroy dkk, 2016), sedangkan fandom dapat didefinisikan sebagai keterikatan psikologis individu dengan penggemar lain yang juga memiliki ketertarikan yang sama (Reysen & Branscombe, 2010).
Terdapat banyak penelitian psikologis mengenai fanship, diantaranya pada bidang olahraga serta domain media digital seperti: pemujaan selebriti, video game bertema olahraga, anime, dan lain-lain. Fanship disarankan sebagai fenomena yang berfluktuasi (Schroy dkk, 2016), yang berarti bahwa intensitas fanship individu dapat berubah dari waktu ke waktu. Telah dikemukakan beberapa faktor psikososial yang mempengaruhi fluktuasi fanship. Faktor-faktor tersebut adalah identitas sosial individu, perbedaan gender, dan ketertarikan seksual.
Fandom bisa menjadi pengalaman yang dinamis tergantung pada minat penggemar. Biasanya, fandom dikaitkan dengan identifikasi kelompok (Ray dkk, 2017) dan minat penggemar di mana-mana dalam masyarakat (Reysen dkk, 2017). Dalam konteks K-Pop, Kim & Kim (2017) menunjukkan bahwa penggemar K-Pop akan secara teratur terlibat dengan penggemar lain di situs web penggemar K-Pop online dan grup khusus untuk K-Pop. Fanship dan fandom mungkin merupakan konsep yang sangat berbeda, namun kedua konsep tersebut merupakan komponen identitas penggemar secara keseluruhan (Schroey dkk, 2016), didukung oleh kategorisasi diri dan manfaat keanggotaan kelompok.
Tampaknya penggemar K-Pop memiliki identitas sosial yang terdiri dari fanship dan fandom terkait K-Pop. Namun, tingkat fanship psikologis dari identitas penggemar K-Pop sebagian besar masih belum diketahui dan merupakan komponen mendasar dari konsepsi identitas sosial penggemar (Reysen & Branscombe, 2010). Identitas penggemar K-Pop dapat diteliti dalam konteks konstruksi psikologis berbasis bukti yang digarisbawahi oleh bagaimana konsep diri dipengaruhi oleh keanggotaan dan afiliasi kelompok. Teori Identitas Sosial (TIS: Tajfel & Turner, 1979) mengemukakan bahwa identitas individu terdiri dari pribadi dan diri sosial dengan kategorisasi diri dalam kelompok. Sebagai hasil dari pengkategorian diri dalam kelompok atau kelompok tertentu, individu kemudian mengalami keterikatan positif dengan minat kelompok dan berkontribusi pada moral intrakelompok (Kaye dkk, 2019; Kim & Kim, 2017; Tajfel & Turner, 1979). Individu juga melaporkan berbagai hasil psikososial positif seperti mempersepsikan sesama anggota kelompok dengan cara yang positif serta fluktuasi harga diri dan peningkatan diri, sebagai akibat dari kategorisasi diri (Tajfel & Turner, 1979).
Dapat dikatakan bahwa TIS menawarkan pandangan yang mungkin mengenai perkembangan identitas sosial penggemar K-Pop. Berdasarkan perspektif TIS, penggemar K-Pop dapat mempertimbangkan diri pribadi mereka dengan fanship K-Pop mereka, serta diri sosial mereka dengan fandom K-Pop mereka. Telah diketahui bahwa penggemar K-Pop mengkategorikan diri dengan membuat, bergabung, serta memelihara berbagai grup penggemar K-Pop online (Kim & Kim, 2017). Berlawanan dengan asumsi teori identitas sosial, penelitian kualitatif tentang identitas penggemar K-Pop menunjukkan bahwa ada jenis penggemar patologis yang disebut Sasaengfans (Williams & Ho, 2014) yang diketahui menunjukkan perilaku seperti penguntit (misalnya memasang CCTV pada kediaman artis K-Pop dan menulis surat kepada artis K-Pop dengan darah) dan tingkat penggemar yang berlebihan. Namun, tipe penggemar ini tidak mewakili penggemar K-Pop pada umumnya (Williams, 2016).
Psikologi Di Balik Fandom
Menurut Marie (2017), terdapat beberapa alasan mengapa fandom begitu lazim di masyarakat. Diantaranya adalah fandom mempromosikan suasana komunitas, mendorong kreativitas dan stimulasi imajinasi, menyediakan sistem pendukung yang sehat, serta mempromosikan koneksi.
Fandom Mempromosikan Suasana Komunitas
Mayoritas orang yang bergabung dengan fandom dimulai pada usia remaja awal atau remaja. Pada usia itu, ketika segalanya berubah, mulai dari puberstas, lingkaran pertemanan, sekolah, hingga identitas, mereka menemukan diri mereka tersesat dalam dunia kecepatan cahaya. Mereka mencari jangkar untuk berlindung dari badai. Hal-hal yang dapat membawa seseorang memasuki fandom antara lain buku, film dan televisi, drama dan musik, serta dari hal-hal lainnya (Marie, 2017).
Bagaimanapun juga, dikelilingi oleh komunitas orang di seluruh dunia yang menghargai, berkontribusi, serta mendukung sesuatu yang diminati merupakan hal yang didambakan oleh seluruh manusia. Keinginan untuk berinteraksi sosial yang banyak dipenuhi melalui olahraga dan kegiatan ekstrakurikuler, untuk orang lain dapat terpenuhi melalui fandom. Di dalam fandom, mereka merasa diinginkan dan dihargai (Marie, 2017).
Fandom Mendorong Kreativitas dan Stimulasi Imajinasi
Fandom tidak dapat dipertahankan oleh elemen saja, melainkan penggemarlah yang menciptakan lingkungan. Kontribusi untuk apresiasi suatu elemen benar-benar luar biasa. Kualitas mengenai seni, fashion, menulis, serta analisis dan kritik benar-benar baik. Konvensi yang dibuat dan berpusat pada apresiasi elemen-elemen ini dapat ditemukan di setiap benua. Dalam fandom, inspirasi dapat datang dari mana saja. Terdapat sistem kreativitas dan kemampuan imajinatif yang luas hanya karena orang mulai menghargai satu elemen. Dikarenakan adanya elemen tunggal itu, mereka disatukan melalui imajinasi mereka.
Fandom Menyediakan Sistem Pendukung yang Sehat.
Banyaknya penyakit mental yang terungkap dewasa ini mengakibatkan sulitnya untuk menemukan orang yang benar-benar mengerti. Fandom merupakan kelompok yang hanya berfungsi sebagai jalan keluar untuk komunitas dan kesenangan. Bagi banyak orang yang menderita depresi, kecemasan, serta penyakit mental lainnya, segala kemungkinan kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat mereka kumpulkan adalah cahaya dalam hidup mereka. Alih-alih melakukannya dengan melalui obat-obatan atau alkohol, mereka dapat melakukannya dengan unsur yang sehat, yakni melalui fandom (Marie, 2017).
Fandom Mempromosikan Komunitas
Komunitas dapat hidup tanpa koneksi. Sangat mudah bagi orang untuk hidup bersama tanpa adanya ikatan. Namun, fandom menciptakan hubungan antara orang-orang yang sulit untuk dipisahkan. Pada setiap fandom, orang-orang mengikat tali hati –bagian dari diri mereka sendiri– dengan apresiasi dan promosi elemen tersebut. Hal ini termasuk promosi komunitas positif seperti berbagi ide, debat yang sehat, penyatuan kreativitas, dan banyak lagi. Terdapat hal-hal seperti “kebersamaan”, di mana dua orang dalam sebuah fandom mungkin tidak saling mengenal secara mendalam, namun saling mendukung secara kreatif (Marie, 2017).
Fanatisme
Menurut Seregina dkk (2011), fanatisme adalah suatu fenomena yang cukup krusial dalam budaya modern, pemasaran, maupun realitas pribadi dan dalam sosial masyarakat. Ini dikarenakan besarnya pengaruh budaya saat ini terhadap seseorang dan relasi yang terjadi dalam diri seseorang membentuk suatu belief atau keyakinan berupa hubungan, pengabdian, kesetiaan, kecintaan, dan sebagainya.
Chuang dkk (2008) mendefinisikan fanatisme sebagai pengabdian yang kuat terhadap suatu objek. Pengabdian ini terdiri dari gairah, keintiman, serta dedikasi diatas rata-rata. Objek yang dimaksud merujuk pada banyak hal, misalnya brand, produk, acara televisi, orang, dan lain sebagainya. Fanatik cenderung bersikukuh terhadap gagasan-gagasan yang menganggap diri sendiri atau kelompok adalah yang paling benar dan mengabaikan seluruh fakta atau argumen yang mungkin tidak sejalan dengan apa yang mereka pikirkan dan yakini.
Menurut Goddard (2001), fanatisme merupakan sebuah belief atau keyakinan yang membutakan seseorang sehingga ia akan berbuat apapun agar keyakinan yang dianutnya dapat bertahan. Nugraini (2016) menjelaskan bahwa fanatisme adalah bentuk antusiasme dan keloyalan yang ekstrem. Antusiasme berkaitan dengan tingkat ketertarikan, keterlibatan, dan kepedulian terhadap objek fanatik. Sedangkan keloyalan berkaitan dengan hubungan emosi dan kecintaan berupa komitmen yang disertai dengan perilaku aktif.
Fanatisme hampir selalu dipandang dan dipelajari sebagai fenomena komunal (bersama-sama). Terdapat hal yang sangat menarik pandangan, yaitu banyak penggemar merasa bahwa memiliki komunitas fans akan membuat mereka mengikuti perubahan dan perkembangan objek (Pratiwi, 2013).
Stereotip
Sejatinya, stereotip bukanlah proses emosional, melainkan proses kognitif yang tidak selalu mengarah pada perilaku yang sengaja dimunculkan untuk menjatuhkan. Kecenderungan manusia untuk mengelompokkan informasi, menciptakan skema, lalu skema tersebut digunakan untuk menafsirkan informasi baru atau unik, menumpangkannya pada heuristik yang tidak valid, serta menggantungkannya pada proses memori yang keliru, di mana seluruh aspek kognisi menuntun seseorang membentuk stereotip negatif.
Menurut Mufid (2012), pandangan seseorang terhadap suatu kelompok yang kemudian digunakannya untuk memandang anggota kelompok tersebut secara keseluruhan disebut dengan stereotip. Pembetukan stereotip terjadi ketika seseorang cenderung mencocokkan informasi yang diperoleh dari media maupun pihak lain agar selaras dengan pemikiran mereka.
Myers (dalam Kuncoro, 2007) mendefinisikan stereotip sebagai suatu penyamarataan mengenai kelompok tertentu yang menjadi pembeda dengan kelompok lain. Sifatnya yang terlalu umum dan kuat membuat stereotip menjadi tidak akurat. Didukung dengan pernyataan Brigham (1991) mengenai stereotip yang menyamaratakan tanpa melakukan observasi dan evaluasi. Sehingga seringkali terjadi kecenderungan untuk memberikan penilaian negatif karakteristik anggota kelompok yang lain.
Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari stereotip yaitu proses kognitif berupa keyakinan bahwa anggota dari suatu kelompok memiliki karakteristik dan kepribadian tertentu. Stereotip muncul ketika seorang individu maupun kelompok memberi penilaian kepada individu atau kelompok lain dan berujung dengan penilaian tersebut menjadi ciri mereka.
Stereotip yang terlalu melekat membuat seseorang tidak dapat menyeleksi mana yang merupakan karakteristik kelompok dan mana yang merupakan karakteristik pribadi anggota kelompok. Selain itu, akibat dari kuatnya stereotip yang melekat adalah munculnya prasangka hingga diskriminasi.
Pembagian Stereotip
Terdapat pembagian dalam stereotip, yaitu stereotip positf dan negatif.
1. Stereotip Positif
Stereotip positif yaitu perkiraan atau pandangan mengenai suatu kondisi atau kelompok tertentu yang bersifat positif. Stereotip positif dapat mendukung munculnya komunikasi antara berbagai pihak yang memiliki perbedaan dari banyak segi. Komunikasi yang terjadi memiliki nilai toleransi sehingga menciptakan hubungan yang harmonis (Dzikriyya, 2017).
2. Stereotip Negatif
Stereotip negatif ialah perkiraan atau pandangan yang sifatnya negatif terhadap suatu kelompok yang memiliki perbedaan dengan kelompok lain. Stereotip ini dapat menjadi beban bagi kelompok yang menerimanya. Kondisi masyarakat yang beragam serta stereotip negatif yang hadir pada suatu kelompok dapat memmunculkan suatu ancaman untuk menjaga kesatuan dalam keberagaman tersebut (Dzikriyya, 2017).
Stereotip negatif juga akan menjadi sekat atau pemisah antarkelompok. Akibatnya, komunikasi keduanya menjadi terhambat karena hadirnya jarak yang diciptakan oleh stereotip negatif. Selain jarak, stereotip ini akan memicu terjadinya konflik antarkelompok apabila tidak segera diluruskan karena steretotip yang terbentuk belum tentu benar adanya, sehingga bisa saja stereotip salah (Dzikriyya, 2017).
Walaupun secara umum stereotip bersifat negatif, stereotip juga memiliki fungsi. Fungsi-fungsi tersebut yaitu menjelaskan keadaan suatu kelompok, memberikan dan membentuk citra terhadap kelompok, membantu individu suatu kelompok dalam menentukan sikap kepada kelompok lain, serta dengan adanya stereotip, maka kondisi suatu kelompok dapat dinilai.
Aktivasi Stereotip
Perasaan negatif atau sekadar mengetahui suatu stereotip tentang sesuatu atau orang lain dapat dimiliki oleh seseorang. Namun mereka cenderung mengesampingkan perasaan negatif yang ada. Individu berusaha untuk bersikap adil dan tidak berprasangka serta menyisihkan stereotip yang ada. Walau sesungguhnya perasaan negatif dan stereotip tidak hilang, melainkan hanya tersimpan di dalam diri dan akan aktif apabila ada stimulus atau rangsangan yang memicu (Widyarini, tanpa tahun).
Proses Munculnya Stereotip
Devine dkk (1989) mengungkapkan bahwa setiap individu menyimpan arsip stereotip yang dapat diakses dari pikirannya, walaupun ada kemungkinan mereka tidak percaya dengan stereotip tersebut. Terdapat dua pemrosesan informasi stereotip, yakni otomatis dan terkendali.
Informasi akan terproses secara otomatis apabila terdapat stimulus yang memicu. Ketika ada anggota kelompok yang distereotip dan dengan adanya ungkapan berisi stereotip, maka stereotip tentang kelompok tersebut akan aktif. Pemrosesan tersebut tidak ada yang menyadari dan terjadi begitu saja ketika ada stimulus yang memicu. Sedangkan pemrosesan terkendali terjadi dengan kesadaran. Setelah mengetahui informasi mengenai suatu stereotip, individu secara mandiri membuat keputusan apakah ia akan mengikuti stereotip tersebut atau tidak (Widyarini, tanpa tahun).
Stereotip Orang Awam Terhadap K-Popers
Menurut Breckler (2006), salah satu kelemahan dalam proses terbentuknya stereotip adalah manusia cenderung mengasumsikan adanya keseragaman dalam sekelompok individu, terutama terhadap kelompok yang cukup besar. Stereotip kelompok besar seringkali disederhanakan, dan ketika diaplikasikan terhadap individu, steretotip menjadi tidak akurat.
Stereotip dapat dipelajari dan diterima dari manapun, baik dari orang-orang di lingkungan sekitarnya, ataupun dari media seperti film, pemberitaan, sinetron, dan lain-lain (Adyapradana, 2012). Banyak orang awam yang memandang K-Popers sebagai manusia-manusia yang aneh dan fanatik. Mereka menganggap bahwa K-Popers terlalu berlebihan dalam segala hal yang berkaitan dengan idola mereka. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa K-Popers tidak nasionalis dan tidak mencintai produk lokal karena menyukai karya serta budaya luar.
Pada kasus ini, stereotip yang terbentuk dalam masyarakat awam mengenai fanatisme K-Popers bermula dari adanya informasi mengenai perilaku-perilaku penggemar K-Pop. Nugraini (2016) mengartikan fanatisme sebagai bentuk antusiasme dan keloyalan yang ekstrem. Antusiasme berkaitan dengan tingkat ketertarikan, keterlibatan, dan kepedulian terhadap objek fanatik. Sedangkan keloyalan berkaitan dengan hubungan emosi dan kecintaan berupa komitmen yang disertai dengan perilaku aktif. Berikut ini merupakan beberapa bukti fanatisme para penggemar K-Pop.
Perilaku Konsumtif dan Pernyataan Cinta oleh K-Popers
Penggemar K-Pop seringkali dianggap berlebihan, obsesif, histeris, gila, hingga konsumtif apabila berkaitan dengan idolanya. K-Popers yang terkenal loyal dalam mencintai idolanya tentu selalu berusaha untuk melakukan dan memberikan yang terbaik. Ada banyak cara yang biasa dilakukan oleh para K-Popers untuk menunjukkan rasa cinta mereka. Mereka tidak ragu menghamburkan banyak uang untuk membeli barang-barang yang berkaitan dengan sang idola (Nastiti, 2010).
K-Popers seringkali mengeluarkan puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk membeli album agar dapat terpilih sebagai penggemar beruntung yang dapat menghadiri fansign idolanya. Istilah fansign digunakan untuk mendeskripsikan acara tanda tangan album yang dilakukan oleh para idola. CNN Indonesia (2019) mengungkapkan bahwa seorang penggemar menghabiskan lebih dari 130 juta rupiah untuk membeli ratusan album agar terpilih menjadi salah satu fans yang bisa menghadiri acara fansign idolanya. Dalam sembilan kali kesempatan fansign, ia telah membeli sebanyak 600 album. Setiap pembelian satu album akan mendapat kupon undian untuk fansign, oleh karena itu semakin banyak kupon yang didapat, peluang untuk memenangkan undian pun semakin besar.
Selain pembelian album, masih banyak barang-barang berbau K-Pop yang sering menjadi incaran K-Popers, salah satunya adalah photocard. Photocard biasanya diperoleh saat membeli album dan dijadikan koleksi, namun banyak juga photocard yang hanya bisa diperoleh pada acara tertentu. Semakin langka photocard, maka semakin mahal harganya. Terdapat seorang penggemar yang rela mengeluarkan biaya 39 juta rupiah demi mendapatkan sebuah photocard milik Jungkook, salah satu anggota boyband BTS (Prambors FM editor, 2021).
Dalam rangka menunjukkan rasa cintanya, para penggemar juga melakukannya dengan membuat banyak proyek dalam rangka mendukung sang idola, salah satunya adalah proyek ulang tahun Oh Sehun –salah satu anggota boyband EXO– yang dilakukan oleh Oh Sehun Bar. Oh Sehun Bar merupakan perkumpulan penggemar Sehun yang berasal dari Tiongkok. Pada tahun 2019, Oh Sehun Bar memasang iklan ucapan ulang tahun untuk Sehun di pesawat. Iklan ini berupa badan dan bagian dalam pesawat yang dihiasi dengan wajah Sehun. Nurani (2019) menyatakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk proyek ini sebesar 2,4 miliar rupiah. Tidak hanya itu, beberapa proyek lain yang kerap dilakukan oleh fans dalam rangka merayakan ulang tahun sang idola antara lain memasang iklan di transportasi umum dan stasiun bawah tanah, membeli bintang atas nama sang idola, menghias akuarium dan mal bertema sang idola, dan lain sebagainya.
Menurut Nastiti (2010), K-Popers secara terang-terangan juga mengungkapkan perasaan cinta mereka kepada idola melalui sosial media. Mereka melakukan hal tersebut dengan memanfaatkan fungsi mention pada Twitter yang ditujukan kepada akun sang idola. Sesama penggemar K-Pop juga terkadang mengungkapkan dan mencurahkan isi hati mereka dengan mengunggah di suatu forum ataupun blog.
Fanwar (Perang Antarfandom)
Terdapat istilah fandom yang sudah tidak asing bagi para penggemar K-Pop. Fandom adalah sekelompok fans yang mempunyai idola yang sama. Fandom dibentuk oleh para penggemar berdasarkan adanya kesamaan perasaan yang mereka miliki. Sehingga terdapat berbagai macam fandom dalam dunia K-Pop, diantaranya Blink, Once, Army, Sone, ELF, EXO-L, Reveluv, Shawol, Wannable, My Day, dan masih banyak lagi. Nama-nama fandom tersebut diberikan secara resmi oleh idola masing-masing.
Masing-masing fandom tentu ingin melakukan yang terbaik untuk idolanya. Seringkali dalam berbagai waktu terdapat perang antarfandom atau yang kerap disebut fanwar. Fanwar biasanya terjadi melalui sosial media dan dipicu oleh oknum dalam fandom yang menyenggol idola dari fandom lain hingga kemudian terjadi konflik. Masing-masing fandom melakukan pembelaan mati-matian ketika idolanya dihina oleh fandom lain atau oleh non K-Popers. Hal tersebut dilakukan agar nama idolanya tidak tercoreng dan tetap baik.
Perilaku-perilaku terkait bukti fanatisme K-Popers kerap diekspos di media sosial, baik oleh sesama penggemar K-Pop maupun artikel-artikel berita yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Orang awam yang tidak memiliki ketertarikan terhadap K-Pop pun dapat mengetahui informasi-informasi tersebut, sehingga kemudian terbentuk sebuah stereotip negatif bahwa fans K-Pop fanatik. Stereotip tersebut cenderung melekat karena budaya Korea yang kian meluas dan jumlah penggemar yang terus meningkat, sehingga sulit untuk menghilangkan stereotip yang telah ada.
Stereotip dapat diproses secara otomatis atau terkendali, namun dikarenakan manusia cenderung lebih menginginkan hal yang praktis, maka pemrosesan stereotip kebanyakan terjadi secara otomatis. Individu akan memproses informasi yang ada tanpa melakukan pertimbangan dan mempercayainya bergitu saja. Stereotip membuat seseorang menyetujui informasi yang sesuai dengan stereotip tersebut dan menginterpretasikan informasi yang tidak konsisten dengan cara yang memungkinkan untuk mempertahankan stereotip tersebut. Hal ini menyebabkan semakin melekatnya stereotip terhadap para penggemar K-Pop.
Akibat dari adanya stereotip tersebut adalah munculnya prasangka yang kemudian dapat menimbulkan diskriminasi. Misalnya, ketika terdapat diskusi bebas dalam sebuah forum di media sosial, pendapat K-Popers cenderung diremehkan hanya karena identitasnya sebagai penggemar K-Pop. Mereka menilai bahwa pendapat yang dikemukakan oleh K-Popers bersifat kenakan-kanakan dan irasional. Selain itu, dampak dari adanya stereotip tersebut adalah menurunnya harga diri serta kepercayaan diri seorang individu penggemar K-Pop. Mereka cenderung akan menyembunyikan identitas mereka sebagai penggemar K-Pop agar tidak dicap aneh dan fanatik oleh orang-orang awam di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adyapradana, Girindra. (2012). Identitas dan Pembentukan Stereotip Pemain Indonesia dalam Online Game. Jurnal Komunikasi Indonesia, 3(1), 1-9.
Breckler, J., dkk. (2006). Social Psychology Alive. Belmont, CA: Wadsworth.
Chuang, E., dkk. (2008). Exploring Consumer Fanaticism: Extraordinary Devotion in the Consumption Context. Journal of Advances in Consumer Research, 35(4), 333-340.
CNN ID Writer. (2019, Februari 3). Rela Habiskan Jutaan Demi ‘Senang’ ala Fan K-Pop. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190202182458-227-365999/rela-habiskan-jutaan-demi-senang-ala-fan-k-pop
Dariyo. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Devine, Patricia G. (1989). Stereotypes and Prejudice: Their Automatic and Controlled Components. Journal of Personality and Social Psychology, 56(1), 5-18.
Dzikriyya, Vina W. (2017). Stereotip Islam Teroris dalam Film “3: Alif Lam Mim” (skripsi). Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo. http://eprints.walisongo.ac.id/7088/
Eliani, J., dkk. (2018). Fanatisme dan Perilaku Agresif Verbal di Media Sosial Pada Penggemar Idola K-Pop. Psikohumaniora:Jurnal Penelitian Psikologi, 3(1), 59-72. http://dx.doi.org/10.21580/pjpp.v3i1.2442
Fitri, Rani A. (2015, Mei 7). Mengapa Mengidolakan?. Binus University Faculty of Humanities Blog. https://psychology.binus.ac.id/2015/05/07/mengapa-mengidolakan/
Goddard, H. (2001). Civil Religion. New York: Cambridge University Press.
Kaye, L. K., dkk. (2019). A Contextual Account of the Psychosocial Impacts of Social Identity in a Sample of Digital Gamers. Psychology of Popular Media Culture, 8(3), 259-268.
Kim, Min-Seong., & Hyung-Min Kim. (2017). The Effect of Online Fan Community Attributes on the Loyalty and Cooperation of Fan Community Members: the Moderating Role of Connect Hours. Computers in Human Behavior, 68, 232-243. Doi: https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.11.031
Kuncoro, Joko. (2007). Prasangka dan Diskriminasi. Jurnal Psikologi Proyeksi: Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang, 2(2), 1-16.
Marie, Karis. (2017, Juli 12). The Psychology Behind Fandoms. Psych2Go. Diakses dari https://psych2go.net/psychology-behind-fandoms/
Mufid, Muhammad. (2012). Etika dan FIlsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Murdianto. (2018). Stereotip, Prasangka, dan Resistensinya (Studi Kasus Pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia). Jurnal Qalamuna, 10(2), 137-160.
Nugraini, Erna Dwi. (2016). Fanatisme Remaja Terhadap Musik Populer Korea dalam Perspektif Psikologi Sufistik (Studi Kasus terhadap EXO-L) (skripsi). Semarang: Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo. Diakses dari http://eprints.walisongo.ac.id/7009/
Nurani, Niken. (2019, Mei 29). Fans Buat Iklan di Pesawat untuk Ulang Tahun Sehun EXO. KumparanK-Pop News. https://kumparan.com/kumparank-pop/fans-buat-iklan-di-pesawat-untuk-ulang-tahun-sehun-exo-1rAnJPmZisB/full?utm_source=kurio&utm_medium=Aggregator
Pertiwi, Sella Ayu. (2013). Konformitas dan Fanatisme Pada Remaja Korean Wave. Jurnal Psikoborneo, 1(2), 84-90.
Prambors Writer. (2021, April 9). Wow! Satu Photocard Langka Jungkook BTS Dijual Seharga Rp 39 Juta!. Prambors FM. Diakses dari https://www.pramborsfm.com/entertainment/wow-satu-photocard-langka-jungkook-bts-dijual-seharga-rp-39-juta/all
Ray, Adam., dkk. (2017). Psychological Needs Predict Fanship and Fandom in Anime Fans. The Phoenix Papers, 3(1), 56-68. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/319352964_Psychological_Needs_Predict_Fanship_and_Fandom_in_Anime_Fans/link/59a6a83c0f7e9b41b788f5eb/download
Reysen, S., & Branscome, N. R. (2010). Fanship and Fandom: Comparisons Between Sport Fans and non-Sport Fans. Journal of Sport Behavior, 33(2), 176-193. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/255718615_Fanship_and_fandom_Comparisons_between_sport_fans_and_non-sport_fans
Schroy, C., dkk. (2016). Different Motivations as Predictors of Psychological Connection to Fan Interest and Fan Groups in Anime, Furry, and Fantasy Sport Fandoms. The Phoenix Papers, 2(2), 148-167. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/301530927_Different_Motivations_as_Predictors_of_Psychological_Connection_to_Fan_Interest_and_Fan_Groups_in_Anime_Furry_and_Fantasy_Sport_Fandoms
Seregina, A., dkk. (2011). Fanaticism – Its Development and Meanings in Consumers Lives. Journal of Aalto University School of Economics, 1(1), 1-106.
Tajfel, Henri, & John Turner. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds), The Social Psychology of Intergroup Relations, 33-47. Monterey, CA: Brooks/Cole.
Widyarini, MM. Nilam. (tanpa tahun). Prasangka (Prejudice): Penyebab dan Cara Mengatasinya (handout). Universitas Gunadarma. http://nilam.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/31885/BAB+13.+PRASANGKA.pdf
Williams, J. Patrick. (2016). Negotiating Fan Identities in K-Pop Music Culture. Studies in Symbolic Interaction, 47, 81-96.
Williams, J. Patrick., & Samantha Xiang Xin Ho. “Sasaengpaen” or K-Pop Fan? Singapore Youths, Authentic Identities, and Asian Media Fandom. Deviant Behavior, 37(1), 81-94.
Yusuf, S. L. (2014). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdaykarya.