JATIMSATUNEWS.COM: Sejak mengenal sepak bola dunia, tanpa terasa saya telah menjadi fans berat tim Argentina. Ini terjadi sejak Piala Dunia 1978. Argentina bertemu Belanda di final. Ada pemain Argentina bernama Mario Kempes. Ini yg membuat saya jatuh hati. Orangnya ganteng, postur tinggi, rambut gondrong, larinya kencang seperti kuda. Dia tidak banyak bicara.
Sebenarnya Argentina sama sekali tdk diunggulkan. Tim ini tidak memiliki pemain bintang. Sedangkan Belanda merupakan tim bertabur bintang. Suasana juara telah menyelimuti kubu Belanda.
Sebagai Negara kecil yg saat itu belum terlalu dikenal, Negara Argentina ingin timnya menjadi juara Dunia. Sang pelatihpun memutar otak, mengutak atik tim yg mampu meladeni Belanda. Berat!
Tiba2 muncul nama Mario Alberto Kempes. Tapi dia sedang dipenjara.
Tim pelatihpun mencari cara. Agar Kempes bisa diijinkan masuk dalam timnas. Negosiasipun terjadi. Kalo timnas mencapai target, Kempes dibebaskan dari penjara. Mungkin karena itu Kempes tidak banyak bicara.
(Kisah ini dicerirakan kakak saya yang waktu itu kuliah di Yogya. Jadi harus saya percaya).
Alhasil, Argentina mengalahkan Belanda dengan sangat menyakitkan. Argentina menjadi juara Dunia. Mario Kempes menjadi pemain terbaik. Namanya disanjung dimana-mana. Menjadi buah bibir semua orang, anak muda hingga org tua. Kostum garis-garis putih-biru muda menjadi terkenal, mengalahkan warna lainnya. Menjadi warna kaos kebanggaan.
Sampai sekarang kalau sedang ingat sepakbola, yang terbayang Mario Kempes yg berlari kencang dengan rambut tebal panjang menusuk di sepanjang garis tepi lapangan terus menembus gawang Belanda. Goaalll... Kedua tangannya diangkat menunggu teman-temannya berhamburan memeluknya. Dalam Piala Dunia 1978 Kempes menjadi pemain terbaik dan pencetak goal terbanyak. Meraih bola emas dan sepatu emas sekaligus.
Dalam sekejap Kempes benar-benar menjadi bintang yg dikagumi Dunia. Setelah itu dia menghilang dari panggung sepakbola.
Hilang Mario Kempes, datang Diego Armando Maradona. Berbeda dengan Kempes, Maradona telah dikenal sejak masa kanak-kanak sebagai pengocek bola yang piawai. Kalau Kempes cenderung pendiam, Maradona terkesan lebih urakan dan pemberani. Bahkan kelak dia menjadi pengkritik dalam banyak hal.
Maradona membawa Argentina juara dalam Piala Dunia 1986 dan runner up pada 1990. Juga membawa banyak klub menjadi juara. Boca Juniors, Napoli, dan Barcelona. Dia terus menjadi bintang walaupun timnas tidak lagi menjadi juara.
Dijaman Maradona ini kecintaan saya kepada tim Argentina semakin dalam. Saya suka Presiden Argentina. Penampilannya fenomenal. Pemberani. Mendukung timnas dengan sangat luar biasa. Namanya Carlos Menem.
Sebagai aktifis kampus, gaya pemberani sang Presiden ini membuat saya kagum dan menjadi faktor yang sangat kuat dalam memupuk fanatisme kepada Tim Argentina. Jadi lengkap, akal dan hati ada di Argentina.
Dalam Piala Dunia 1986 di Mexico keberpihakan saya kepada Argentina makin menggebu. Terutama saat bertemu tim Inggris di perempat-final.
Mengapa? Saat itu terjadi Perang Malvinas. Rebutan pulau Malvinas. Presiden Argentina Carlos Menem dengan gagah menantang Inggris yang mau mencaplok Malvinas.
Pasukan Argentina dihajar habis pasukan Inggris dalam perang yang selesai lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Argentina kalah telak dan takluk. Terpaksa menyerahkan Malvinas ke tangan Inggris (dlm kasus a quo saya tidak sempat tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi perasaan saat itu berpihak pada negara kecil yang digempur secara militer).
Nah... kalah dalam perang malvinas, berlanjut dalam perang di lapangan sepakbola. Hampir semua penonton bersimpati pada tim Argentina. Dan Argentina membalas kekalahannya di perang malvinas. Alhasil, Argentina juara Dunia setelah di final menekuk Jerman Barat. Maradona pemain terbaik. Mendapat bola emas.
Kemudian masuk era Leonel Messi, sampai sekarang. Kesukaan saya kepada tim Argentina terus terjaga dengan terus adanya jenderal lapangan yang luar biasa di tim Argentina. Memenuhi kebutuhan akal untuk mendukung. Adanya kepemimpinan yg kuat di lapangan menjadi rasionalitas pilihan dukungan.
Saya sempat bimbang ketika Piala Dunia memasuki perempat-final. Karena ada tim Maroko yang berhasil menyita simpati. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Argentina bertemu Maroko di partai final. Akan terjadi pertandingan ketat dalam diri saya: antara rasionalitas dan perasaan. Akal berada di Argentina, perasaan di Maroko. Tidak mungkin ada juara kembar. Untunglah, partai panas dingin itu tidak terjadi. Sehingga dukungan saya bulat untuk Agentina.
Bukan berarti saya menutup simpati kepada timnas lain. Tetapi simpati dan dukungan kepada timnas lain juga sering muncul secara sporadis. Yakni ketika ada faktor-faktor non teknis yang secara subyektif mempengaruhi. Misal, ketika di tim Prancis ada pemain-pemain dari kalangan minoritas menjadi bintang seperti Zidane, dan lain-lain. Atau di Jerman ada Ozil. Atau ada mega bintang dalam tim, seperti Ronaldinho dan Neymar di Brazil. Atau trio Ruud Gullit, Frank Rijkard, dan Marco van Basten di tim Belanda. Dan lain lain. Tapi ya itu tadi... situasional saja. Tidak seperti kepada Argentina.
Messi sudah menjadi pemain terbaik di Piala Dunia 2014. Tapi belum mendapat sepatu emas. Juga belum mengantar Argentina menjadi juara dunia. Dan saya ingin menyaksikan Messi mendapatkan apa yang belum diraihnya itu, sekarang. Tentu saja tidak mudah. Prancis tim kuat bertabur bintang. Argentina punya kelebihan: ada pemimpin di lapangan. Bukan sekedar kapten tim, tapi pemimpin yang dihormati
semua pemain. Ini tradisi tim Argentina. Dan itu yang membuat saya semakin suka.
Pasca Piala Dunia Qatar 2022 ini Messi bakal pensiun. Semoga ada pemimpin baru di tim Argentina yang mampu dan pantas menjadi jenderal lapangan. Mungkin Julian Alvarez. Mungkin baru akan muncul setelah Piala Dunia 2022 usai dan Messi telah gantung sepatu.
(Ditulis ulang dari Masduki Thaha_Arema Jatim)