Artikel I
JATIMSATUNEWS.COM: Selalu kita peringati setiap tahun, tepatnya tanggal 10 November. Dimana kita sebagai generasi penerus bangsa, harus selalu ingat dan terpatri dalam diri kita, sejarah perjuangan bangsa kita melawan penjajah, yang ingin menduduki wilayah Nusantara.
Pertempuran 10 November, adalah perang pertama pasukan Indonesia melawan pasukan asing, setelah dinyatakan merdeka, dan setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.
Perang 10 November 1945 merupakan perang paling berdarah yang pernah dialami tentara Inggris pada dekade 1940-an
Sejak insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945, para pejuang muda Surabaya mulai melakukan penyerangan ke pos-pos tentara sekutu. Beberapa perang kecil terjadi antara arek-arek Suroboyo yang tak rela tanah airnya diinjak-injak kembali oleh bangsa penjajah.
Pada 28 Oktober 1945, pecahlah perang terbuka pertama antara pejuang Indonesia melawan tentara Inggris dari Brigade 49 India yang dipimpin Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.
Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak, baik tentara Indonesia maupun Inggris dan tentu saja rakyat sipil Surabaya. Saat itu, pasukan Inggris diambang kekalahan.
Pada 30 Oktober 1945, bertemulah delegasi Indonesia yang diwakili Sukarno, Hatta dan Amir Syarifuddin dengan Inggris yang diwakili Mayor Jenderal D.C. Hawthorn di Surabaya.
Di depan para pejuang muda Surabaya, Sukarno meminta mereka untuk menghentikan serangan terhadap tentara Inggris. Pihak Inggris sendiri berjanji akan segera menarik pasukanya dari Surabaya. Usai menandatangani perjanjian gencatan senjata, Hawthorn dan para pimpinan RI tersebut meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Namun, takdir tak dapat ditolak. Informasi gencatan senjata ternyata belum diterima oleh seluruh lapisan pasukan. Brigjend Mallaby yang mengira suasana kota Surabaya sudah terkendali menjadi lengah. Pada 30 Oktober 1945 malam, Mallaby keluar dari markas pasukan Inggris dengan maksud mengecek pasukannya.
Dengan naik mobil Buick ia bersama pengawalnya berkeliling Surabaya. Tanpa disadari, Mallaby masuk ke daerah sekitar Jembatan Merah, wilayah yang dikuasai para pejuang Indonesia.
Di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah saat itu sedang terjadi baku tembak antara para pejuang dan beberapa pasukan tentara bayaran India (Gurkha) yang belum tahu informasi gencatan senjata.
Mendadak, ada pistol menyalak mengarah ke mobil Mallaby. Tak lama kemudian, sebuah granat menggelinding ke bawah mobil dan langsung meledak. Mallaby tewas seketika.
Sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa yang menembak Mallaby dan melemparkan granat ke mobil Mallaby. Begitu pula dengan insiden baku tembak di sekitar Jembatan Merah, tidak diketahui apa penyebabnya.
Dalam perang selama lima tahun melawan NAZI Jerman, Inggris tidak pernah kehilangan satu jenderal pun. Tapi di Surabaya baru lima hari mendarat seorang jenderal sudah terbunuh.
Letnan Jenderal Philip Christison, komandan pasukan sekutu di Indonesia marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby. Ia kemudian mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Robert Mansergh.
Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Lahirnya Pekik Paling Menggetarkan "Merdeka atau Mati" 10 November
Perang 10 November 1945 merupakan perang paling berdarah yang pernah dialami tentara Inggris pada dekade 1940-an
Sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa yang menembak Mallaby dan melemparkan granat ke mobil Mallaby. Begitu pula dengan insiden baku tembak di sekitar Jembatan Merah, tidak diketahui apa penyebabnya.
Dalam perang selama lima tahun melawan NAZI Jerman, Inggris tidak pernah kehilangan satu jenderal pun. Tapi di Surabaya baru lima hari mendarat seorang jenderal sudah terbunuh.
Letnan Jenderal Philip Christison, komandan pasukan sekutu di Indonesia marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby. Ia kemudian mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Robert Mansergh.
Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 06.00 pagi pada tanggal 10 November 1945. Ultimatum yang disebar melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah.
"Hak apa orang Inggris memerintahkan orang Surabaya yang menjadi bagian dari negara berdaulat" teriak Bung Tomo sambil menggebrak meja setelah mendapatkan laporan bahwa ada ultimatum dari Inggris.
Munculnya Pekik "Merdeka atau Mati!"
Dalam buku memoarnya (Yayasan Obor, 2001), Hario Kecik (Wakil Komandan Tentara Keamanan Rakyat) mengingat banyak rakyat berkumpul di sudut-sudut kota Surabaya sambil membawa senjata yang bisa mereka dapatkan.
Para pemuda dan pejuang lainnya kemudian sepakat mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran.
Dari pertemuan itulah muncul semboyan atau pekik "Merdeka atau Mati" dan Sumpah Pejuang Surabaya yang bunyinya sebagai berikut:
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!