“Kekejaman” dalam Rumah TanggaAchmad Saifullah Syahid
Keras dan kejam adalah dua hal yang berbeda. Keras dan lunak merupakan “pasangan hidup”, sebagaimana pasangan panas dan dingin, tinggi dan rendah, jauh dan dekat, kejam dan belas kasih. Sejauh ini kita menganggap kedua pasangan itu sebagai antonim.
Padahal Tuhan menciptakan segala sesuatu secara berpasangan. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (QS. adz-Zaariyat [51]: 49). Secara hakiki pasangan itu tidak bermusuhan karena mereka menjalani dialketika sunnatullah.
Kalau yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga ternyata adalah kekejaman dalam rumah tangga, kita tidak bisa berkilah, “Apalah arti sebuah kata.” Yang keras belum tentu kejam. Keras menjadi sifat alamiah ciptaan Tuhan. Apa jadinya jika tulang manusia lunak dan lembek. Kita akan nglimprek seperti sarung.
Kekejaman berbeda lagi urusannya. Untuk berbuat kejam seorang suami tidak harus menempeleng istrinya. Ia bisa berbuat kejam secara “smooth”. Menuduh istri dengan kata-kata—maaf—misalnya, sundal, itu lebih kejam dan menyakitkan daripada menempeleng mukanya.
Berbuat kejam kepada teman cukup dengan meludahi foto bapaknya. Tidak ada kekerasan fisik. Namun, harga diri siapa yang tidak terhina ketika foto bapaknya diludahi.
Jadi, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga? Ialah perbuatan kejam yang terjadi di lingkungan hidup rumah tangga. Pelakunya bisa suami kepada istri, istri kepada suami, bapak atau ibu kepada anaknya, dan seterusnya.
Kekejaman pasti melukai harkat dan harga diri kemanusiaan. Tidak peduli tokoh tersohor, artis terkenal, public figur kondang, atau siapa pun dia ketika tega melakukan tindak kekejaman, ia kehilangan sisi paling mendasar sebagai manusia. Ia turun satu level menjadi binatang.—Achmad Saifullah Syahid