JAKARTA I
JATIMSATUNEWS.COM: Kasus KDRT yang menimpa Lesti Kejora memang menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia selama beberapa waktu terakhir. Apalagi ditambah dengan keputusan sang biduan (Lk) untuk mencabut laporan KDRT Rizky Billar, padahal ketika itu Rizky Billar sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.
Akibat kehebohan kasus KDRT Rizky Billar dan Lesti Kejora tersebut, banyak publik figur yang ikut menyoroti perkembangan kasus keduanya, mulai dari kalangan artis, hingga beberapa tokoh, tak ketinggalan pula Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan.
Agar KDRT tak berlangsung massive, menginspirasi seseorang melakukan hal demikian maka Komnas Perempuan turu tangan pada kasus yang sedang viral. Salah satu upayanya adalah pada kasus KDRT Rizky Billar. Dia dwajibkan mengikuti program konseling, diatur juga dalam UU PKDRT.
"Harapannya dengan Konseling siklus kekerasannya terhenti dan mampu mengelola konflik," ucapnya
Salah satu upaya adalah RB diwajibkan mengikuti program konseling. Kewajiban mengikuti konseling juga diatur dalam UU PKDRT. diharapkan dengan konseling sirklus kekerasan terhenti dan mampu mengelola konflik," ujarnya
Selanjutnya terkait KDRT Komnas Perempuan juga menurunkan rilisnya. Jakarta, 17 Oktober 2022, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa penegakan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dimaksudkan untuk menghentikan siklus kekerasan di dalam keluarga.
UU PKDRT diundangkan pada 22 September 2004 sebagai pembaharuan hukum nasional yang bertujuan untuk: 1) mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; 2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; 3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan 4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Pengundangan ini juga menjadi pelaksanaan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984. Konvensi tersebut memandatkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang akarnya terletak pada diskriminasi perempuan. UU PKDRT menjadi harapan kita semua dalam memperbaiki kondisi perempuan dan anak, serta mereka yang subordinat, juga bagi siapa pun dalam lingkup relasi rumah tangga yang rentan dan tinggal di bawah satu atap, seperti PRT menjadi korban kekerasan.
Data yang dihimpun Komnas Perempuan pada setiap tahunnya melalui Catatan Tahunan (CATAHU) menunjukkan bahwa pelaporan kasus KDRT setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2021 Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), atau 31% dari laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal. Berdasarkan pengaduan dan pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban beragam dan berlapis. Korban mengalami penderitaan luka-luka fisik, trauma dan depresi, bahkan menjadi disabilitas maupun kehilangan nyawa.
Masih tingginya angka kasus KDRT di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius baik dari segi penguatan korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya dan dari segi penanganannya. Pelaporan merupakan langkah awal bagi perempuan korban untuk mendapatkan perlindungan, keadilan dan pemulihan. Komnas Perempuan mencatat bahwa tidak semua korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya KTI mau dan berani untuk bicara apalagi melaporkan kasusnya. Istri tidak melakukan pelaporan kasusnya berdasarkan berbagai pertimbangan terkait peran sosial perempuan, di antaranya demi menjaga nama baik keluarga, keutuhan keluarga, masa depan anak-anak. Pertimbangan lainnya adalah ketergantungan yang dimiliki, secara emosi, ekonomi dan sosial. Mengenali tantangan yang dihadapi korban, Komnas Perempuan mengapresiasi dan mendukung setiap perempuan korban untuk berani bicara dan melaporkan kasusnya ke kepolisian.
Berkait dengan itu, Komnas Perempuan mengapresiasi langkah LK, seorang istri dan sekaligus figur publik, untuk melaporkan KDRT yang dialaminya. Pelaporan LK mendapatkan perhatian dan dukungan dari publik luas. Dari pemberitaan media, diketahui bahwa LK diduga mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh suaminya RB, yang mengakibatkan LK mengalami penderitaan sehingga membutuhkan perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Diberitakan pula bahwa tindakan ini bukan kali pertama melainkan berulang.
Selanjutnya, Komnas Perempuan mengenali bahwa kasus LK menunjukkan kompleksitas kesulitan perempuan korban kekerasan untuk keluar dari siklus kekerasan yang dihadapinya. Meski memperoleh banyak dukungan, LK mencabut kembali pelaporannya setelah pihak suami ditetapkan sebagai tersangka dan meminta maaf. LK menyuarakan bahwa langkah mencabut pelaporannya didasarkan pertimbangan dampak pada anak dan juga harapannya bahwa kondisi rumah tangganya masih dapat diperbaiki. LK bersama kuasa hukum RB memohon penangguhan tahanan atas RB, yang juga telah dikabulkan oleh pihak kepolisian.
Komnas Perempuan mendukung langkah kepolisian, khususnya Polres Jakarta Selatan, untuk tetap melanjutkan proses hukum dalam penanganan kasus LK dengan maksud untuk memastikan kejadian serupa tidak berulang di kemudian hari. Perlu dipahami bahwa pencabutan pelaporan tidak serta merta menghentikan proses hukum. Dalam kasus ini, pihak pelaku KDRT ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT yang termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan.
Komnas Perempuan menyerukan agar kepolisian dan semua pihak waspada dengan potensi siklus kekerasan dalam penanganan kasus KDRT. Dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari (a) kondisi tanpa kekerasan, (b) kondisi ketegangan yang ditandai dengan perselisihan, (c) kondisi ledakan kekerasan, dan (d) kondisi rekonsiliasi atau “masa bulan madu” dimana situasi menenang setelah adanya permintaan maaf. Namun dari waktu ke waktu, ledakan kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan dapat menjadi sangat fatal dengan mengakibatkan luka yang serius hingga meninggal dunia.
Komnas Perempuan perpendapat bahwa langkah kepolisian untuk melanjutkan proses hukum, karenanya, akan berkontribusi untuk mencegah preseden buruk dalam penanganan kasus KDRT, khususnya KTI, di mana pendekatan keadilan restoratif digunakan untuk membuka celah impunitas pelaku dan meneguhkan siklus KDRT. Pertama, pasal yang disangkakan terhadap pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan. Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT menyebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)."
Kedua, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif belum memuat penanganan khusus dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
Perkapolri ini hanya memuat langkah pelaku untuk permohonan maaf dan penggantian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tanpa disertai dengan pengaturan mengenai langkah-langkah lanjutan yang wajib dilakukan oleh pelaku agar memastikan kejadian serupa tidak berulang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:
Kepolisian untuk melanjutkan penanganan kasus KDRT LK sesuai aturan hukum dalam UU PKDRT untuk memutus impunitas, sebagai bagian dari penegakan hukum dan pembelajaran publik;
RB dikenai kewajiban untuk mengikuti program konseling menggunakan psikolog yang direkomedasikan dan dalam pengawasan kepolisian untuk perubahan cara pandang dan perilaku tentang relasi laki-laki dan perempuan guna memutus siklus kekerasan;
LK mendapatkan penguatan psikologis dan informasi untuk memahami hak dan posisinya sebagai perempuan dan korban;
Pemerintah, khususnya Kemenhukham dan KPPPA, mengambangkan mekanisme rehabilitasi pelaku tindak KDRT dan program pencegahan yang lebih efektif;
Perempuan korban untuk tetap bersuara dan melaporkan kekerasan yang dialaminya;
Semua pihak agar bersama bergerak untuk menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, ciptakan ruang aman, dukung dan temani korban.