(Artikel 5 dari 5 Artikel)
Oleh: Mursal Asmir, S.Ag, SH, MA*
ARTIKEL I JATIMATUNEWS.COM: Flash On Artikel 1 Terdapat permasalahan bahwa titik awal Peradaban Islam di Nusantara tersebut menjadi diskursus, yang sepertinya tidak berkesudahan dan berkepanjangan. Diskursus tersebut memanas kembali setelah Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017, meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara yang terletak di pinggir pantai Barus. Namun sebenanya diskursus itu sudah ada dan banyak terjadi sebelum diresmikannya Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara.
Intelektual dan Budayawan Azyumardi Azra
tidak menyetujui keputusan tersebut, karena peresmian Tugu Titik Nol Peradaban
Islam Nusantara dipandang politis dan hal tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Sementara itu Aceh dalam hal ini
diwakili oleh Samudra Pasai, dipandang sebagai titik pertama kedatangan Islam
di Nusantara. Secara akademis, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan
karena ada bukti berupa teks dan peninggalan sejarah lainnya. Dan hal yang
penting lagi, bahwa masyarakat Indonesia mengetahui secara umum bahwa titik
persebaran ajaran agama Islam ke Nusantara tersebut berawal dari Aceh, bukan
dari Barus Sumatera Utara.
Gambaran Awal Terbentuknya Peradaban Islam di Nusantara
Asumsi yang dibangun sebelumnya bahwa memang kedatangan
orang Islam pertama dan menetap tersebut berada di titik Barus dengan menunjuk pada
bukti angka pada komplek Makam Mahligai yang bertanggal hari wafat 48 Hijriah atau
sama dengan 659 Masehi. Penahunan demikian menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan
(Syaikh Rukunuddin) sudah tinggal dan menetap di Daerah Barus.
Prosesi pemakamanan yang sesuai dengan ajaran
agama Islam dinilai bahwa sudah ada sekelompok orang islam menetap dan hidup di
Barus. Karena tidak mungkin Syaikh Rukunuddin dimakamkan begitu saja oleh orang
yang tidak mengerti tata cara pemakaman secara Islam. Dengan demikian bahwa telah
terdapat peradaban Islam di sekitar area pemakaman Mahligai tersebut. Keberadaan
makam Syaikh Rukunuddin tersebut kemudian dilanjutkan dengan makam-makam lainnya
hingga menjadi semacam komplek pemakaman bagi orang-orang yang beragama Islam. Dalam
penelitian awal juga ditemukan beberapa keluarga yang mengakui bahwa nenek moyang
mereka dimakamkan di Makam Mahligai tersebut. Hal itu belum dihitung lagi dengan
keberadaan komplek makam Papan Tinggi.
Sementara untuk disebut sebagai sebuah peradaban
dengan budaya yang mapan, Barus belum bisa disebut demikian, karena tidak ada kerajaan
Islam awal yang tercatat ada di Barus. Barus sebagai sebuah bandar dipandang sebagai
kota metropolitan dengan berbagai bangsa dan kebudayaan hadir disana termasuk adanya
kebudayaan Islam. Beberapa Kesultanan Islam sempat tegak dan berdiri di Barus, namun
ditahun belakangan, tidak pada masa-masa kedatangan orang Islam pertama di Barus.
Keberadaan Kesultanan Barus tersebut dibuktikan dengan adanya makam-makam Sultan
dan atau keluarga Kesultanan yang bertebaran di beberapa tempat di Barus.
Kerajaan Islam awal yang mapan tersebut tercatat
ada dan banyak tumbuh di daerah Aceh seperti Kesultanan Lamuri, Kesultanan Samudra
Pasai dan Kesultanan Peurlak. Yang diketahui bahwa Kesultanan tersebut berjasa dan
mempunyai kontribusi untuk penyebaran Islam ke seluruh Nusantara. Jasa dari Kesultanan-Kesultanan
di Aceh tersebut tidak mungkin dihilangkan dalam memori dan sejarah masyarakat Indonesia
bahwa Aceh secara keseluruhan adalah titik awal persebaran Islam ke Nusantara.
Mengenai titik awal peradaban Islam, maka dalam
masyarakat Aceh sendiri terdapat perbedaan bahwa masing-masing kesultanan tersebut
mengakui bahwa Kesultanan merekalah sebagai titik awal. Namun perlu dijadikan bahan
pertimbangan sebuah kekusaan berupa kerajaan atau kesultanan tersebut akan berdiri
jika ada peradaban yang menyokongnya, dengan demikian proses berdirinya sebuah kekuasaan
tersebut akan dilalui dalam beberapa masa.
Bahan
Pertimbangan : Pesisir Barat dan Pesisir Timur Sumatera
Pulau Sumatera secara Geografis sangat strategis
karena sebagai pusat komoditas dagang dan jalur perdagangan. Letak pulau sumatera
yang memanjang antara utara dan selatan, maka posisinya dalam Geografis akan membentuk
dua pesisir yaitu pesisi barat Sumatera dan dan pesisir timur Sumatera.
Pesisir Barat menjadi strategis karena berbagai
komoditas perdagangan berasal dari Pulau tersebut seperti barus/kamper, rempah-rempah
dan emas. Pada Pesisir barat Sumatera tersebut
banyak bandar-bandar. Pentingnya pesisir barat Sumatera ini dibuktikan oleh sejarah,
bahwa VOC (serikat perusahaan dagang Belanda) mempunyai beberapa titik point penguasaan
di Padang dan EIC (serikat perusahaan dagang Inggris) yang menguasai Bengkulu. Karena
Bandar Barus terletak pada bagian utara, maka menjadikan Bandar Barus sebagai titik
paling Strategis.
Sementara itu pesisir timur Sumatera menjadi Strategis
karena adanya jalur pedagangan dunia yaitu Selat Malaka. Penguasaan terhadap selat
Malaka berarti menguasai perdagangan dunia. Namun yang paling diuntung oleh keberadaan
selat Malaka ini adalah kekuasaan/kerajaan yang berada di Malaka Malaysia dan atau
kontrol dari Jambi atau Palembang. Sementara itu berkemungkinan dari Aceh yang diuntungkan
dari jalur perdagangan selat malaka yaitu Kesultanan Peurlak atau Kesultanan Samudra
Pasai.
Keberadaan selat malaka sebagai jalur perdagangan
dunia, maka memungkinan bagi kekuasaan/kerajaan yang berada di sekitarnya untuk
membuka bandar sebagai tempat persinggahan. Dengan demikian berkemungkinan berbagai
suku bangsa dan berbagai agama dipastikan ada yang singgah dan bahkan menetap pada
kekuasaan/kerajaan tersebut, maka implikasi lebih lanjut terhadap mereka yang menetap
akan membentuk sebuah peradaban walaupun dalam skala peradaban yang kecil berupa
keluarga atau komunitas.
Terlepas dengan keberadaan pesisir barat dan pesisir
timur Sumatera tersebut terdapat Pulau Sabang, yang bisa dijadikan bahan pertimbangan
bahwa Sabang dikenal sebagai tempat persinggahan bagi pedangang-pedagang Internasional,
maka yang menguasai Sabang sama saja menguasai Perdagangan dunia. Maka dari pertimbangan
ini, Kesultanan Lamuri mempunyai kesempatan untuk membawa klaim bahwa dari titik
pulau sabang inilah titik awal peradaban Islam di Nusantara.
Tantangan
Penelitian
Barus sebagai titik awal peradaban Islam di Nusantara
sudah lama dibicarakan, bahkan Buya Hamka sendiri membenarkan hal tersebut dengan
menggunakan “teori Mekah” terhadap kedatangan
Islam ke Nusantara. Namun pamornya kalah dibandingkan dengan Aceh. Masyarakat Indonesia
secara umum mengetahui bahwa Acehlah yang pantas menyandang Status tersebut.
Tidak banyak penelitian yang dijumpai mengenai
keberadaan dan eksistentsi Barus, hal tersebut tentu berpengaruh pada upaya untuk
mendapatkan sumber sekunder penelitian. Sementara untuk daerah Aceh, sangatlah mudah
untuk mendapatkan sumber sekunder penelitian karena telah banyak penelitian yang
membahas mengenai Aceh dan keberadaan Islam di Aceh.
Secara Politik, maka Barus sebagai titik awal
Islam di Nusantara diakui secara Nasional dengan peresmian Tugu Titik Nol
Peradaban Islam Nusantara oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017, namun hal
tersebut ditentang oleh Masyarakat Aceh melalui beberapa seminar yang diadakan.
Hingga Gema peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara tidak diketahui oleh
banyak orang. Sementara itu masyarakat Barus sebagai sebuah administrasi yang hanya
berupa Kecamatan akan berhadapan dengan persepsi masyarakat Aceh yang merupakan
sebuah Propinsi. Barus hanya berdiri sebagai sebuah Kecamatan tanpa dibantu secara
politik dari Propinsi Sumatera Utara. Sementara itu dipihak Aceh, titik awal peradaban
Islam di Nusantara dan persebarannya adalah sebagai harga diri yang susah ditawar,
pemerintah dan masyarakat Aceh mendukung dan bahu membahu mempertahankan pernyataan
tersebut walupun dalam internal masyarakat aceh itu sendiri terdapat perbedaan juga
antara Kesultanan Peurlak, Kesultanan Samudra Pasai atau Kesultanan Lamuri. Berbanding
terbalik dengan Barus yang hanya dipertahankan oleh Barus dan masyarakat Barus,
sementara pemerintah dan masyarakat Sumatera Utara seperti tidak serius dan acuh
tak acuh mengenai persoalan ini.
Terdapat tantangan lain dalam penelitian ini,
bahwa situs-situs sejarah Kesultanan Lamuri di Aceh Besar untuk saat ini masih dalam
tahapan penelitian dan konservasi dari pihak yang berwenang hingga penelitian tidak
dapat dilakukan karena belum terbuka untuk publik. Hal tersebut tentu menjadi tantangan
penelitian yang harus dipecahkan
Penutup
Gambaran awal tersebut merupakan hasil dari penelitian
awal yang dilaksanakan dalam Ekspedisi Tim Peneliti Batuta Institute pada 13-24
Agustus yang mengunjungi titik-titik penelitian yaitu di Barus, Aceh Besar/Kota
Banda Aceh, Langsa dan Lhoksemauwe, maka didapatkan gambaran bahwa masing-masing
tempat tersebut mempunyai bukti yang bisa menguatkan bahwa pada daerah merekalah
peradaban awal Islam berkembang di Nusantara. Pandangan tersebut dianggab wajar
selain karena adanya bukti sejarah, namun juga sudah diintervensi oleh “harga diri”
yang sebenarnya lebih besifat subjektif.
Wassalam.
*Penulis Merupakan KASI PAIS Depag Agam dan Direktur Eksekutif pada
lembaga kajian Batuta Institue