Gambaran Awal Terbentuknya Peradaban Islam Di Nusantara Dalam Diskursus Klaim Barus dan Aceh

03 September 2022 | 17.40 WIB Last Updated 2022-09-03T10:59:57Z

 

(Artikel 5 dari 5 Artikel)

Oleh: Mursal Asmir, S.Ag, SH, MA*


ARTIKEL I JATIMATUNEWS.COM: Flash On Artikel 1 Terdapat permasalahan bahwa titik awal Peradaban Islam di Nusantara tersebut menjadi diskursus, yang sepertinya tidak berkesudahan dan berkepanjangan. Diskursus tersebut memanas kembali setelah Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017, meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara yang terletak di pinggir pantai Barus. Namun sebenanya diskursus itu sudah ada dan banyak terjadi sebelum diresmikannya Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara.

Intelektual dan Budayawan Azyumardi Azra tidak menyetujui keputusan tersebut, karena peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara dipandang politis dan hal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Sementara itu Aceh dalam hal ini diwakili oleh Samudra Pasai, dipandang sebagai titik pertama kedatangan Islam di Nusantara. Secara akademis,  hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan karena ada bukti berupa teks dan peninggalan sejarah lainnya. Dan hal yang penting lagi, bahwa masyarakat Indonesia mengetahui secara umum bahwa titik persebaran ajaran agama Islam ke Nusantara tersebut berawal dari Aceh, bukan dari Barus Sumatera Utara.

 Gambaran Awal Terbentuknya Peradaban Islam di Nusantara

Asumsi yang dibangun sebelumnya bahwa memang kedatangan orang Islam pertama dan menetap tersebut berada di titik Barus dengan menunjuk pada bukti angka pada komplek Makam Mahligai yang bertanggal hari wafat 48 Hijriah atau sama dengan 659 Masehi. Penahunan demikian menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan (Syaikh Rukunuddin) sudah tinggal dan menetap di Daerah Barus.

Prosesi pemakamanan yang sesuai dengan ajaran agama Islam dinilai bahwa sudah ada sekelompok orang islam menetap dan hidup di Barus. Karena tidak mungkin Syaikh Rukunuddin dimakamkan begitu saja oleh orang yang tidak mengerti tata cara pemakaman secara Islam. Dengan demikian bahwa telah terdapat peradaban Islam di sekitar area pemakaman Mahligai tersebut. Keberadaan makam Syaikh Rukunuddin tersebut kemudian dilanjutkan dengan makam-makam lainnya hingga menjadi semacam komplek pemakaman bagi orang-orang yang beragama Islam. Dalam penelitian awal juga ditemukan beberapa keluarga yang mengakui bahwa nenek moyang mereka dimakamkan di Makam Mahligai tersebut. Hal itu belum dihitung lagi dengan keberadaan komplek makam Papan Tinggi.

Sementara untuk disebut sebagai sebuah peradaban dengan budaya yang mapan, Barus belum bisa disebut demikian, karena tidak ada kerajaan Islam awal yang tercatat ada di Barus. Barus sebagai sebuah bandar dipandang sebagai kota metropolitan dengan berbagai bangsa dan kebudayaan hadir disana termasuk adanya kebudayaan Islam. Beberapa Kesultanan Islam sempat tegak dan berdiri di Barus, namun ditahun belakangan, tidak pada masa-masa kedatangan orang Islam pertama di Barus. Keberadaan Kesultanan Barus tersebut dibuktikan dengan adanya makam-makam Sultan dan atau keluarga Kesultanan yang bertebaran di beberapa tempat di Barus.

Kerajaan Islam awal yang mapan tersebut tercatat ada dan banyak tumbuh di daerah Aceh seperti Kesultanan Lamuri, Kesultanan Samudra Pasai dan Kesultanan Peurlak. Yang diketahui bahwa Kesultanan tersebut berjasa dan mempunyai kontribusi untuk penyebaran Islam ke seluruh Nusantara. Jasa dari Kesultanan-Kesultanan di Aceh tersebut tidak mungkin dihilangkan dalam memori dan sejarah masyarakat Indonesia bahwa Aceh secara keseluruhan adalah titik awal persebaran Islam ke Nusantara.

Mengenai titik awal peradaban Islam, maka dalam masyarakat Aceh sendiri terdapat perbedaan bahwa masing-masing kesultanan tersebut mengakui bahwa Kesultanan merekalah sebagai titik awal. Namun perlu dijadikan bahan pertimbangan sebuah kekusaan berupa kerajaan atau kesultanan tersebut akan berdiri jika ada peradaban yang menyokongnya, dengan demikian proses berdirinya sebuah kekuasaan tersebut akan dilalui dalam beberapa masa.

 

Bahan Pertimbangan : Pesisir Barat dan Pesisir Timur Sumatera

Pulau Sumatera secara Geografis sangat strategis karena sebagai pusat komoditas dagang dan jalur perdagangan. Letak pulau sumatera yang memanjang antara utara dan selatan, maka posisinya dalam Geografis akan membentuk dua pesisir yaitu pesisi barat Sumatera dan dan pesisir timur Sumatera.

Pesisir Barat menjadi strategis karena berbagai komoditas perdagangan berasal dari Pulau tersebut seperti barus/kamper, rempah-rempah dan emas.  Pada Pesisir barat Sumatera tersebut banyak bandar-bandar. Pentingnya pesisir barat Sumatera ini dibuktikan oleh sejarah, bahwa VOC (serikat perusahaan dagang Belanda) mempunyai beberapa titik point penguasaan di Padang dan EIC (serikat perusahaan dagang Inggris) yang menguasai Bengkulu. Karena Bandar Barus terletak pada bagian utara, maka menjadikan Bandar Barus sebagai titik paling Strategis.

Sementara itu pesisir timur Sumatera menjadi Strategis karena adanya jalur pedagangan dunia yaitu Selat Malaka. Penguasaan terhadap selat Malaka berarti menguasai perdagangan dunia. Namun yang paling diuntung oleh keberadaan selat Malaka ini adalah kekuasaan/kerajaan yang berada di Malaka Malaysia dan atau kontrol dari Jambi atau Palembang. Sementara itu berkemungkinan dari Aceh yang diuntungkan dari jalur perdagangan selat malaka yaitu Kesultanan Peurlak atau Kesultanan Samudra Pasai.

Keberadaan selat malaka sebagai jalur perdagangan dunia, maka memungkinan bagi kekuasaan/kerajaan yang berada di sekitarnya untuk membuka bandar sebagai tempat persinggahan. Dengan demikian berkemungkinan berbagai suku bangsa dan berbagai agama dipastikan ada yang singgah dan bahkan menetap pada kekuasaan/kerajaan tersebut, maka implikasi lebih lanjut terhadap mereka yang menetap akan membentuk sebuah peradaban walaupun dalam skala peradaban yang kecil berupa keluarga atau komunitas.

Terlepas dengan keberadaan pesisir barat dan pesisir timur Sumatera tersebut terdapat Pulau Sabang, yang bisa dijadikan bahan pertimbangan bahwa Sabang dikenal sebagai tempat persinggahan bagi pedangang-pedagang Internasional, maka yang menguasai Sabang sama saja menguasai Perdagangan dunia. Maka dari pertimbangan ini, Kesultanan Lamuri mempunyai kesempatan untuk membawa klaim bahwa dari titik pulau sabang inilah titik awal peradaban Islam di Nusantara.

 

Tantangan Penelitian

Barus sebagai titik awal peradaban Islam di Nusantara sudah lama dibicarakan, bahkan Buya Hamka sendiri membenarkan hal tersebut dengan menggunakan “teori  Mekah” terhadap kedatangan Islam ke Nusantara. Namun pamornya kalah dibandingkan dengan Aceh. Masyarakat Indonesia secara umum mengetahui bahwa Acehlah yang pantas menyandang Status tersebut.

Tidak banyak penelitian yang dijumpai mengenai keberadaan dan eksistentsi Barus, hal tersebut tentu berpengaruh pada upaya untuk mendapatkan sumber sekunder penelitian. Sementara untuk daerah Aceh, sangatlah mudah untuk mendapatkan sumber sekunder penelitian karena telah banyak penelitian yang membahas mengenai Aceh dan keberadaan Islam di Aceh.

Secara Politik, maka Barus sebagai titik awal Islam di Nusantara diakui secara Nasional dengan peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017, namun hal tersebut ditentang oleh Masyarakat Aceh melalui beberapa seminar yang diadakan. Hingga Gema peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara tidak diketahui oleh banyak orang. Sementara itu masyarakat Barus sebagai sebuah administrasi yang hanya berupa Kecamatan akan berhadapan dengan persepsi masyarakat Aceh yang merupakan sebuah Propinsi. Barus hanya berdiri sebagai sebuah Kecamatan tanpa dibantu secara politik dari Propinsi Sumatera Utara. Sementara itu dipihak Aceh, titik awal peradaban Islam di Nusantara dan persebarannya adalah sebagai harga diri yang susah ditawar, pemerintah dan masyarakat Aceh mendukung dan bahu membahu mempertahankan pernyataan tersebut walupun dalam internal masyarakat aceh itu sendiri terdapat perbedaan juga antara Kesultanan Peurlak, Kesultanan Samudra Pasai atau Kesultanan Lamuri. Berbanding terbalik dengan Barus yang hanya dipertahankan oleh Barus dan masyarakat Barus, sementara pemerintah dan masyarakat Sumatera Utara seperti tidak serius dan acuh tak acuh mengenai persoalan ini.

Terdapat tantangan lain dalam penelitian ini, bahwa situs-situs sejarah Kesultanan Lamuri di Aceh Besar untuk saat ini masih dalam tahapan penelitian dan konservasi dari pihak yang berwenang hingga penelitian tidak dapat dilakukan karena belum terbuka untuk publik. Hal tersebut tentu menjadi tantangan penelitian yang harus dipecahkan

 Penutup

Gambaran awal tersebut merupakan hasil dari penelitian awal yang dilaksanakan dalam Ekspedisi Tim Peneliti Batuta Institute pada 13-24 Agustus yang mengunjungi titik-titik penelitian yaitu di Barus, Aceh Besar/Kota Banda Aceh, Langsa dan Lhoksemauwe, maka didapatkan gambaran bahwa masing-masing tempat tersebut mempunyai bukti yang bisa menguatkan bahwa pada daerah merekalah peradaban awal Islam berkembang di Nusantara. Pandangan tersebut dianggab wajar selain karena adanya bukti sejarah, namun juga sudah diintervensi oleh “harga diri” yang sebenarnya lebih besifat subjektif.

 

Wassalam.

 

*Penulis Merupakan KASI PAIS Depag Agam dan Direktur Eksekutif pada lembaga kajian Batuta Institue


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Gambaran Awal Terbentuknya Peradaban Islam Di Nusantara Dalam Diskursus Klaim Barus dan Aceh

Trending Now