Deskripsi Konsep Dalam Diskursus Klaim Barus dan Aceh
(Artikel 2 dari 5 Artikel)
Oleh ;
Mursal Asmir, S.Ag, SH, MA*
ARTIKEL I JATIMSATUNEWS.COM: Flash On Artikel 1
Terdapat permasalahan bahwa titik awal Peradaban Islam Nusantara tersebut menjadi diskursus, yang sepertinya tidak berkesudahan dan berkepanjangan.
Diskursus tersebut memanas kembali setelah Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017, meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara yang terletak di pinggir pantai Barus.
Namun sebenanya diskursus itu sudah ada dan banyak terjadi sebelum kejadian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara.
Intelektual dan Budayawan Azyumardi Azra tidak menyetujui keputusan tersebut, karena peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara dipandang politis dan hal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sementara itu Aceh dalam hal ini diwakili oleh Samudra Pasai, dipandang sebagai titik pertama kedatangan Islam di Nusantara. Secara akademis, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan karena ada bukti berupa teks dan peninggalan sejarah lainnya. Dan hal yang penting lagi, bahwa masyarakat Indonesia mengetahui secara umum bahwa titik persebaran ajaran agama Islam ke Nusantara tersebut berawal dari Aceh, bukan dari Barus Sumatera Utara.
Deskripsi Konsep Peradaban Islam Nusantara
Ahmad Muzayyin dalam Jurnal penelitiannya telah menghimpun pembahasan mengenai konsep peradaban itu sendiri dari berbagai sumber.
Dijelaskan bahwa Peradaban berasal dari kata “adab” yang berarti sopan, berbudi pekerti, luhur, mulia, berakhlak yang semuanya menunjuk pada sifat yang tinggi dan mulia. Sedangkan kata peradaban bermakna kemajuan (kecerdasan, kebudayaan), hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.
Pemakaian kata peradaban dan kebudayaan dalam bahasa Inggris cukup jelas antara civilization dan culture, begitupun dalam bahasa Arab digunakan saqafah untuk kebudayaan dan hadharah atau tamaddun untuk peradaban, bahkan lebih jauh Nurcholish Madjid sering mengungkapkan term “Madani” untuk menggambarkan masyarakat yang berperadaban. Secara epistemologi, peradaban adalah perkembangan kebudayaan yang telah mendapat tingkat tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya, taraf kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu tercermin pada pendukungnya itu dikatakan sebagai beradab atau mencapai peradaban tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam konsep peradaban terdapat beberapa kata kunci seperti adab dan kemajuan. Adab dikaitkan dengan sikap seorang manusia dalam pergaulan berkaitan dengan tingkah laku yang menyenangkan bagi manusia lain.
Nilai dari sikap tersebut digambarkan dalam bentuk budi bahasa, kesopanan, kesantunan. Dengan dalam konteks ini peradaban merupakan pengendalian individu dalam masyarakat terhadap masyarakat lainnya hingga menciptakan pola hubungan yang damai. Peradaban sebagai sebuah kemajuan digambarkan dalam bentuk kecerdasaan dan kebudayaan.
Dalam hal ini, maka peradaban berarti proses progresif dalam menemukan hal baru yang berakar dari kemampuan menemukan sesuatu yang baru yang berguna bagi orang lain. Hasil penemuan tersebut tidak selalu dalam bentuk ril namun juga penemuan dalam bentuk nilai. Kebergunaan dari penemuan tersebut kemudian diterapkan dalam kehidupan dan diterima oleh masyarakat. Dengan demikian terjadi proses pengulangan, dimana pada akhirnya dibudayakan dan menjadi bagian dari nilai, norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Sebuah kebudayaan tersebut, pada akhirnya akan bertemu dengan kebudayaan lain, maka terjadi dialektika budaya. Proses perkembangan kebudayaan sebagai akibat dialektika budaya tersebut diuraikan oleh Michael Stanislaus Ryo, bahwa proses perkembangan kebudayaan dalam peradaban diantaranya dilalui dengan proses seperti asimilasi dan akomodasi.
Akulturasi merupakan proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya, tanpa menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan asli.
Sedangkan asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Selanjutnya, akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjuk terciptanya keseimbangan dalam hubungan-hubungan sosial antarindividu dan kelompok-kelompok sehubungan dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Taufiqullah seperti yang dikutip oleh Abuy Shodikin, secara etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu kata salima yang berarti selamat sentosa. Pendapat ini dipegangi oleh hampir semua ahli, khususnya para ulama Islam.
Selanjutnya dari kata salima berarti selamat sentosa, dibentuk mutat’adi (transitif) menjadi aslama yang artinya memelihara diri, tunduk patuh dan taat. Orang yang melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan Muslim.
Firman Allah SWT: "Bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah,‘sedang is berbuat kebaikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) bersedih hati".(Q.S. Al-Baqarah :112)
Abuy Shodikin mengkosepkan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Rasul-Nya guna diajarkan kepada manusia. la dibawa secara kontinium dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. la adalah rahmat, hidayah dan petunjuk bagi manusia yang berkelana dalam kehidupan duniawi, sebagai perwujudan dari sifat rahman dan rahim Allah. la juga merupakan agama yang telah sempurna (penyempuma) terhadap agama (syari'at-syari'at) yang ada sebelumnya.
Muhamad bin Abdullah Alhadi & Najwaa Chadeeja Alhady dalam kesimpulan penelitiannya menyatakan bahwa Islam memuat nilai-nilai dasar dan universal berkenaan dengan kejujuran, persamaan, persaudaraan, amanah, musyawarah dan aspek-aspek lainnya yang ditujukan agar tercipta tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan yang beradab (civil society).
Islam adalah agama yang hanafiah-samhah, lurus-mudah dan tidak memberatkan pada umatnya. Dalam perjalanannya, ajaran Islam selalu sesuai dan dapat disesuaikan dengan kondisi struktur sosial, budaya dan letak geografis dimana masyarakat tersebut berada. Berdasarkan hal tersebut, maka ajaran Islam itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari peradaban itu sendiri sebagaimana uraian konsep sebelumnya.
Sebagai pelengkap dari konsep yang telah diuraikan diatas tersebut, maka Islam adalah sebuah susunan ajaran yang berintikan ketauhidan pada satu Pencipta dan bermuara pada keindahan tingkah laku penganutnya dalam interaksi kehidupan sesama manusia atau hubungan dengan alam.
Ajaran Islam terakhir disampaikan oleh Nabi Muhammad setelah menerima wahyu dari Allah. Ajaran Islam tersebut juga berisi pedoman adab dan kebudayaan yang bisa dijadikan pedoman kehidupan oleh muslim dalam tataran interaksi sosialnya.
Sementara itu, konsep Nusantara itu dapat diuraikan konsep dari van der Kroef sebagaimana yang dikutip oleh Rozi El Umam dalam tesisnya bahwa Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah Negara Republik Indonesia.
Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia-Belanda yang belum terwujud.
Ketika penggunaan nama „Indonesia‟ (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai dalam ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak mencakup Filipina.
Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.
Sebagai pelengkap antara konsep diatas, dalam gambaran mengenai “Peradaban Islam Nusantara”, maka perlu memuat disini pendapat dari Prof. Amir Syarifuddin terkait dengan hukum sebagai bagian dari peradaban, bahwa terdapat beberapa teori mengenai pelaksanaan hukum Islam tersebut.
Terdapat teori kredo, bahwa hukum Islam itu berlaku sebenarnya bagi orang yang telah mengaku sebagai orang Islam tersebut hal tersebut berhubungan dengan teori receptie a complexu. Kemudian masuk pula teori dari Ter Haar yang dipelopori oleh Snock Horgoranye yaitu teori receptie, menurut teori tersebut memang hukum Islam itu dapat terlaksana menurut apa adanya tetapi setelah menjadi hukum adat, jadi hukum Islam tersebut “menumpang” terlebih dahulu kepada hukum adat.
Teori Receptie tersebut dianggap tidak tepat, namun yang berlaku dalam masyarakat akhir-akhir ini adalah teori recetie tersebut.
Teori receptie yang digagas oleh Snock Horgoranye tersebut telah dibatalkan oleh Undang Undang Dasar Tahun (UUD) Tahun 1945. Haizairin berpendapat bahwa teori receptie tersebut bertentangan dengan hukum UUD. Sebab dalam UUD dasar tersebut adalah hukum agama jadi bukan hukum agama yang numpang ke dalam hukum adat. Adat dapat diterima selama tidak bertentangan dengan hukum Islam, hal tersebut berhubungan dengan teori Receptie Exit. Hukum adat dapat berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum Islam hal tersebut diamalkan oleh ulama sekarang.
Teori Haizairi tersebut dapat berjalan. Hal tersebut harus dilihat pada faktanya. Dicontohkan hukum perkawinan dan perceraian dimana hal tersebut diikuti oleh hukum adat. Jadi bukan hukum Islam yang mengikuti hukum adat pada pelaksanaan perkawinan dan perceraian. Sementara itu dalam persoalan jinayah tidak bisa diterapkan hukum Islam.
Penutup
Deskripsi mengenai konsep Peradaban Islam Nusantara diatas, bisa dijadikan sebagai salah satu alat dalam upaya ikut membahas diskursus titik awal peradaban Islam di Nusantara. Perebutan klaim titik awal peradaban Islam Nusantara antara Barus dengan Aceh sebenarnya bisa diarahkan kepada hal yang positif untuk membangkitkan semangat meneliti, berdiskusi dan berdalil demi satu tujuan yaitu menentukan titik awal peradaban Islam Nusantara.
Sebagaimana proses dialektika, satu tesis akan disanggah dengan anti tesis. Harapan yang diharapkan akan melahirkan tesis baru. Maka dengan kerendahan hati, penulis ikut menikmati perdebatan ilmiah ini dan berusaha untuk terlibat dalam perdebatan tersebut.
Mohon maaf atas ketidaktelitian dan ketidaktepatan dalam pengutipan.
Wassalam.
*Penulis Merupakan KASI PAIS Depag Agam dan Direktur Eksekutif pada lembaga kajian Batuta Institue