Pekerjakan Para Janda, Supriyadi Jadi Pengusaha Kayu Terkenal di Kampungnya

Admin JSN
28 Juni 2022 | 07.31 WIB Last Updated 2022-06-28T17:20:35Z
Pekerjakan Para Janda, Supriyadi Jadi Pengusaha Kayu Terkenal di Kampungnya
SAPA TOKOH I JATIMSATUNEWS.COM: Supriyadi, pria kelahiran Probolinggo 48 tahun, kini menjadi sosok yang diidolakan di kampungnya terutama para janda. Bukan tanpa sebab, ini karena kiprahnya yang memberi peluang kerja pada mereka justru saat pandemi.

Desa Gading Kulon merupakan suatu wilayah di kecamatan Banyuanyar kabupaten Probolinggo. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau pekerja ladang. Semenjak tanaman palawija tidak lagi diminati, para petani menanami lahan mereka dengan pohon sengon dan sejenisnya. 

Mengakibatkan hasil panen tidak bisa dinikmati sewaktu-waktu layaknya palawija. Tidak adanya penghasilan tetap yang bisa dinikmati para petani menjadi ironis ketika mereka mempunyai tanggungan hutang di bank. 

Tagihan bulanan yang harus mereka bayar, termasuk bunga denda keterlambatan. Belum lagi biaya hidup sehari-hari, menjadikan hidup mereka semakin sulit. 

Pandemi covid beberapa saat lalu berimbas semakin berkurangnya lapangan pekerjaan pun tingkat pengangguran memperburuk keadaan. 

Akibat parah lain, banyak janda terlantar yang butuh bantuan secara finansial untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan anak-anak.

Tergelitik dari situasi dan kondisi kelam ini, akhirnya Pak Pri, begitu dia biasa disapa,  mengundurkan diri dari statusnya sebagai karyawan di sebuah perusahaan kayu dan mencoba peruntungan dengan mendirikan perusahaan rumahan yang dikelola sendiri.

Latar belakang pekerjaan dan relasi yang dikenalnya, membuat Pak Pri berani memulai bisnis pengolahan limbah triplek.

Bahan limbah didapat dari pabrik kayu, diolah menjadi triplek layak pakai yang kemudian akan disetor lagi ke pabrik yang sama untuk dimanfaatkan kembali sebagai produk mereka dengan kualitas tidak kalah baik.

Pak Pri memerlukan pekerja, maka berdatangan lah para tetangga  pengangguran melamar untuk bekerja di tempatnya.

Uniknya, pelamar kebanyakan adalah janda, dari usia remaja hingga manula. Bahkan dari luar kota. 

Dengan memanfaatkan halaman rumah yang luas, limbah triplek diolah dengan sistematis layaknya di pabrik. Ada 10 alat pemotong triplek ditempatkan di meja-meja panjang yang tertata rapi, masing-masing meja ini dikelilingi pekerja wanita. 

Setelah triplek dipotong rapi oleh pekerja pria, para wanita akan merapikan dan menyusunnya menjadi satu ikatan. Setiap ikatan berisi 20 lembar potongan triplek. 

Setiap 1 ikat triplek dihargai Rp. 4.000,- jadi per lembar triplek dihargai Rp 200. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan borongan, upah dibayar tiap minggu. Tidak ada persaingan tidak sehat di dalamnya, siapa yang bekerja keras mengumpulkan ikatan, dia yang akan menerima upah lebih banyak. 

Rata-rata pekerja wanita bisa menyelesaikan 10-15 ikatan triplek per harinya. Tidak ada target produksi, pabrik dibuka 24 jam, siapa saja bisa bekerja semampu mereka kapanpun mau.

Kegiatan produksi ini berlanjut tiap hari, karena tiap hari ada pengiriman limbah triplek dari pabrik dan pada hari yang sama hasil daur ulang olahan triplek disetor langsung ke pabrik.

Ada 10-14 truck yang datang dan pergi tiap harinya, membawa 8-9 ribu lembar triplek hasil produksi.

Adapun limbah hasil daur ulang produksi berupa potongan triplek yang lebih kecil biasanya disetor ke pengepul lain yang akan membuat triplek kecil dengan kualitas di bawahnya dan serbuk nya dikirim ke pabrik-pabrik besar di daerah Paiton untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

"Tidak ada yang terbuang percuma", jelas Pak Pri.

Disinggung tentang tantangan yang harus dihadapi dalam menjalankan bisnisnya, pria kalem berwibawa ini mengatakan kendalanya ada di bahan baku. 

"Pada saat musim penghujan, limbah triplek dari pabrik berkurang, karena proses pengeringan lambat terhambat cuaca, yang biasanya butuh proses 12 jam bisa sampai 18-24 jam", paparnya. 

Jika setoran limbah triplek dari pabrik berkurang otomatis pekerjaan di rumah juga berkurang, dengan kondisi seperti ini banyak pekerja yang menganggur.

Kini setelah setahun lebih berjalan, Pak Pri sudah memiliki karyawan dan karyawati lebih dari 70 orang. Terhitung 1 orang sebagai mandor, 3 orang tenaga bongkar muat triplek dari dan ke atas truck, 10 orang tenaga pemotong dan sisanya pekerja wanita yang bertugas membuat ikatan triplek. 

Berbekal ketekunan dan motivasinya yang mulia, tulus dan ikhlas untuk menolong pengangguran miskin dan mengentaskan janda terlantar, Pak Pri telah melakukan perubahan besar dalam peningkatan perekonomian desa. Sebutan pahlawan ekonomi kiranya layak disematkan  atas dedikasinya ini. Ibarat pahala didapat, cuan pun merapat.

Pak Pri sendiri mengaku tidak perlu bersusah payah mengatur para pekerjanya. 

"Mereka termotivasi dengan sendirinya. Pekerja wanita yang kebanyakan janda ini justru lebih giat kerjanya. Dari pagi setelah Shubuh sudah datang, kerja sampai kadang-kadang tengah malam baru pulang. Selain untuk memenuhi target sendiri dalam menghasilkan uang, mereka merasa waktunya lebih berarti daripada sekedar menganggur di rumah."

Seorang pekerja wanita yang sudah berusia tua mengaku kerasan bekerja di sana.

 "Kerasan, kerja dari pertama kali ada pabrik, senang ikut Pak Pri, orangnya baik, pekerjaan jadi menyenangkan," tutur pekerja wanita itu sembari bekerja dengan senyum.


Lee




Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pekerjakan Para Janda, Supriyadi Jadi Pengusaha Kayu Terkenal di Kampungnya

Trending Now