Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia semakin membaik dan dinilai adanya peningkatan dalam jumlah penangan kasus-kasus dugaan korupsi.
Kejaksaan sepanjang tahun 2021 menangani sebanyak 371 kasus, persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kejaksaan sekitar 53 persen atau masuk dalam kategori B atau Baik,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Wacth (ICW) , Lalola Easter.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Wacth (ICW) , Lalola Easter dalam keterangan tertulis melansir KOMPAS TV, Senin (18/4) merelis trend penanganan kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan semakin membaik, dibandingkan dengan 2 (dua) lembaga penegakan hukun lainnya Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Untuk kualitas penanganan kasus, ICW mencermati aktor yang banyak ditangani oleh Kejaksaan adalah ASN (242 tersangka), Swasta (162 tersangka) dan Kepala Desa (101 tersangka). “Nilai kerugian negara dari kasus yang ditangani oleh Kejaksaan menjadi yang terbesar selama 2021 ketimbang intsitusi lainnya,” ucap Lalola.
Terhadap hal ini ICW menilai tidak dapat serta merta menjadi suatu pencapaian karena Kejaksaan harus memastkan bahwa potensi nilai kerugian sebesar Rp. 26,5 Triliun harus kembali ke kas negara.
Tak hanya itu, ICW, sambung Lalola, juga mencermati perihal profesionalisme penindakan kasus korupsi di Kejaksaan Agung.
“Diduga terdapat sejumlah Kejaksaan yang tidak menangani kasus korupsi. Artinya, Jaksa Agung perlu melakukan evaluasi terhadap setiap Kejaksaan yang terbukti tidak bekerja,” katanya.
Trend penindakan kasus korupsi 2021 menurut ICW oleh institusi kepolisian sangat buruk. Pasalnya, Penanganan kasus korupsi di Kepolisian menurun dibandingkan dengan tahun–tahun sebelumnya.
“Kepolisian memiliki 517 kantor, target penanganan kasus korupsi selama 2021 sebanyak 1.526 kasus dengan anggaran sebesar Rp290,6 miliar, Kepolisian selama tahun 2021 hanya dapat menangani 130 kasus. Persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kepolisian sekitar 8,4 persen atau masuk dalam kategori E atau Sangat Buruk," ujarnya.
Berdasarkan data yang dikantongi ICW, kualitas penanganan kasus di kepolisian paling banyak menjerat ASN sebagai tersangka, diikuti Kepala Desa, dan Swasta. Untuk pasal yang banyak digunakan, Kepolisian dalam menjerat pelaku adalah pasal Kerugian Negara, yakni sebanyak 119 kasus dengan potensi nilai kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun.
Sebetulnya sudah sejalan dengan janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit pada saat fit and proper test yang menegaskan akan memaksimalkan pemulihan aset dalam kasus korupsi.
“ Selain itu pada bulan Februari 2021 lalu, Kapolri meningkatkan kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai upaya agar lembaganya mampu mengoptimalkan asset recovery dalam kasus tindak pidana ekonomi,” kata Lalola.
“Namun kenyataannya kepolisian hanya sebanyak 2 kali menerapkan instrument pasal pencucian uang yakni kasus korupsi Bank Jawa Tengah cabang Blora dan Jakarta serta pengembangan kasus yang menjerat Irjen Napoleon Bonaparte,” lanjut Lalola.
Bagi ICW, dengan sumber daya yang melimpah dari segi anggaran ketimbang Kejaksaan dan KPK, kinerja Kepolisian justru lebih buruk.
“Tidak ada upaya dari Kepolisian untuk membongkar kasus pada aktor yang paling strategis,” ujarnya.
Selanjutnya, ICW membeberkan tren penurunan penindakan kasus korupsi oleh institusi KPK sejak mengalami revisi UU pada tahun 2019.
“Persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh KPK hanya sekitar 26,6 persen dari target sepanjang 2021 sebanyak 120 kasus. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja KPK masuk dalam kategori D atau Buruk,” papar Lalola.
Perihal kualitas penanganan kasus di KPK Lalola juga mengkritisi, menurutnya belum banyak menyasar aktor strategis.
“Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian, KPK paling dominan menggunakan pasal suap dalam menangani perkara selama tahun 2021. Hanya ada 1 korporasi yang KPK tetapkan sebagai tersangka Profesionalisme Penindakan Kasus Korupsi,” jelas Lalola.
Jin