ads H Makhrus

 

Pasang iklan disini

 


50 Ribu Yang Mempermalukan Profesi Wartawan

Admin JSN
06 April 2022 | 03.18 WIB Last Updated 2022-04-06T02:27:30Z

50 Ribu Yang Mempermalukan Profesi Wartawan 
ARTIKEL I JATIMSATUNEWS.COM: Datang tak diundang pulang minta dipandang padahal yang punya hajat kedatanganpun enggan. Begitu kira kira yang ingin disampaikan bulek saya, kepala sekolah sebuah SD di Pasuruan setelah ke sekian kali didatangi wartawan yang minta uang saku.

Jadi gini, beberapa waktu lalu datang seorang wartawan datang ke sekolah bulek saya. Sebuah SD di Kabupaten Pasuruan. Dia kepala sekolah di sana. Mengeluh dengan sikap seorang wartawan.

"Pokoknya kalau dia datang pasti minta uang, kalau tidak diberi gak pulang-pulang."

"Padahal, saya gak pernah ngundang dia. Kok disuruh ngasih uang, melihat saja enggan rasanya apalagi ngasih uang. Sekolah kami kecil, tidak ada anggaran untuk nyangoni wartawan, sekali-kali mungkin bisa saya ambilkan dari uang pribadi, tapi kalau terus bikin sebel. Tolong kamu kasih tahu temanmu itu. Kalau datang jangan minta uang," lanjut bulek, kali ini berapi-api. 

Lah, saya yang kena semprot. Oke, saya memang wartawan, saya bangga dengan profesi ini, berjuang lewat kata-kata idealisme yang terbangun dalam hati dan otak ini,  jadi meradang juga mendengar ocehah bulek. Merendahkan wartawan banget, macam tukang palak saja penilaiannya.

Di hadapan kawan-kawannya guru pula saya jelaskan bahwa tidak ada kewajiban sekolah untuk itu, kalau keberatan tolak saja. Misal dia ngancam laporkan, atau video saja kedatangannya. Itu yang saya sarankan. 

"Moh, wegah rame. Nanti dia bisa datang bawa teman, kami jadi terancam. Kamu kasih tahu saja, biar gak datang ke sekolahku lagi."

Ah bulek, sejuta penjelasan tentang kode etik wartawan dan adanya oknum, ujungnya ini. Menyerahlah saya. Akhirnya saya telepon wartawan laki-laki  itu. Di hadapan bulek dan kawan-kawannya.

Cuma nyapa saja, sambil memberitahu bahwa dia dapat salam dari kepala sekolah SD di Pasuruan yang kebetulan bulek saya. 

Sekolah tempat bulek saya mengabdi bisa dibilang terpencil. Perkenalannya dengan wartawan tersebut karena sebuah bencana. Atap reot SD tempat bulek mengabdi pernah reot, lalu runtuh membuat salah satu ruang kelas bolong tanpa atap. Diketahui wartawan, diliput diberitakan, dapat bantuan. Akhirnya si wartawan ini jadi kenal sama bulek, menunjukkan jasanya, dengan menulis berita dia bisa membuat sekolah dapat bantuan. Lalu ya itu, minta sangu, berulang. 

Perkenalan yang tak diinginkan kata bulek, karena ujungnya sekolah jadi ATM sang wartawan. 

"Terakhir kemarin cuma tak kasih 50.000 soalnya yang ada di kas bendahara cuma itu. Gak tahu diambilkan dari pos mana sama bu bendahara," papar bulek. 

"Lha biasanya berapa?" 

"Minimal 100 kalau sendiri, kalau sama teman beda lagi. Itupun masih ngasih makan. Soalnya ke sini mesti pas jam makan siang je," cetus bulek. 

Penuturan yang membuat saya prihatin, sebegitu murah harga profesi ini. Hanya 50 ribu sudah bisa membuat seseorang merasa dalam ancaman. 

Sampai di sini saya jadi mengerti ujaran yang pernah dilontarkan Kadiknas Pasuruan, Hasbulloh beberapa bulan lalu ketika dia baru menjabat. Saat viral perkataan "Kepala Sekolah jangan takut sama wartawan". 

Rupanya ini biang keladinya. Kejadian nyata yang saya buktikan dengan mata kepala. Malu hati, menampar muka ini, meski sah, bukan saya pelakunya. 

Terkini,  menurut penuturan bulek wartawan tersebut tak pernah lagi dia datang menghampiri. Dia bersyukur, tidak perlu lagi repot mencari-carikan dana buat orang yang tidak dikehendaki.

Meski begitu, berhentinya kawan saya mendatangi SD bulek tidak serta merta membuat saya girang, ternyata beberapa kawannya sesama kepala sekolah mengaku mengalami hal demikian dengan wartawan yang berbeda. Bukan tidak mau ikut campur, kalau banyak enggan pula saya.

 Cuma satu saran saya, laporkan. Jangan takut, hukum akan melindungi. Sambil menunjukkan berita program Jaksa Masuk Sekolah yang beberapa hari terakhir intens digelar kejaksaan negeri Kabupaten Pasuruan ke sekolah sekolah, dan diliput media tempat saya bernaung. 

"Hubungi saja Pak Jaksa itu, yang sering jadi nara sumber. Insya Allah dia takkan keberatan membantu sekolah apabila ada masalah." 

Kenapa jaksa kok bukan polisi? Karena yang terlintas dalam pikiran saya institusi Adhyaksa itu. Masih hangat membersamai, jadi kenal seluk beluk hukum dari narasumber apalagi sedang ada program ke sekolah - sekolah memberi penyuluhan hukum. 

Atau ada pula Saber Pungli, ini langsung menangani hal beginian. Anggotanya dari jaksa, polisi dan jaksa dengan ketua polisi. 

Jadi, paling tidak untuk menjadi konsultan hukum sekolah bisa diandalkan. Apakah nanti akan diarahkan lapor ke kepolisian atau bagaimana saya pikir pasti Jaksa yang telah menjadi tim program penyuluh akan mau memberi jalan keluar. 

Bukan tidak mau uang kalau saya katakan kawan wartawan tersebut adalah oknum yang mempermalukan, akan tetapi caranya itu lo. Tidak elegan, macam preman. Padahal dengan cara lain dia bisa mendapatkan uang lebih terhormat. Membuat penawaran resmi misalnya, berita advertorial. Tunjukkan range harga, beserta produk lain yang dimiliki media. Misal menulis berita pesanan berapa, pasang iklan bergambar berapa dan seterusnya. 

Tidak munafik, saya juga dapat uang dari profesi ini, terutama dari liputan khusus atau pemasangan iklan. Akan tetapi tidak pernah saya minta uang saku ketika berada di tempat tanpa memberi tahu. Malu saja. 

Yang saya lakukan ya itu tadi memberitahu harga kalau memakai jasa saya. Kalau mau saya datang, kalau tidak ya saya oper ke kawan lain yang dekat, yang tidak perlu biaya untuk peliputan dan, tentu yang mau meski tidak dapat uang.

Bagi saya berani liput ya harus tahu resiko. Entah keluar untuk transport atau makan, atau yang lain. Menyediakan sendiri tanpa harus minta-minta pada penyelenggara acara apalagi dari narasumber. Toh dari media sudah ada meski sering tak cukup bila lokasi susah dijangkau.

Berpikir untung rugi jauh dari pikiran ini. Kalau sudah memutuskan jalan akan saya nikmati, seperti pasukan maju perang. Kata-kata adalah peluru, berita adalah buah kemenangan. Menjadikan liputan sebagai karya itulah tujuan. Selesai,  tidak ada yang lain. Bahwa dari berita atau artikel itu saya kemudian dapat transfer, itu bonus Tuhan, rejeki yang saya sukuri. Artinya, tulisan saya dibaca, disukai pembaca. 

Sebagai orang yang kembali ke profesi ini setelah jeda puluhan tahun, saya mencintai. Seperti CLBK, bertemu mantan tercinta dengan segala resikonya. Tak kan mencederai, apalagi dengan nominal uang yang menjatuhkan harga diri. 

Pada kawan wartawan seperti saya, yang masih butuh uang saya sampaikan, ayolah kita gunakan cara elegan mendapatkan uang, yang tetap membuat kita dihormati tanpa memberi ancaman pada siapapun. Saya yakin bisa, kalaupun tak dapat uang dari sasaran pastikan Tuhan akan memberi dari arah yang tak disangka.  Asal niat kita menulis tulus ikhlas murni untuk berkarya, mengabarkan kebenaran. 

Harapan ini, tak ada lagi kabar wartawan tukang minta uang dengan cara-cara yang memalukan. Pasti bisa, karena jari wartawan sangatlah berharga, lebih berharga dari sekedar 50 ribu rupiah yang didapat dari minta-minta. 

Sepakat? Mari menulis, mengabarkan kebenaran dengan terhormat. Salam
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • 50 Ribu Yang Mempermalukan Profesi Wartawan

Trending Now