KOLOM I JATIMSATUNEWS.COM: Imlek bukan hanya perayaan, ia memiliki ratusan makna. Warna merah hoki hingga angpao berbagi. Imlek bukan hanya hari besar agama, ia juga bagian dari budaya besar Indonesia.
Secara resmi, Imlek adalah hari raya umat agama Konghucu. Tertuang dalam Kepres No. 6/2000 pada tanggal 17 Januari 2000.
Tapi, cobalah lihat. Gereja kawan saya pun merayakan. Meskipun jemaatnya tidak semua Tionghoa. Lampion dan aksara China, sudah tidak lagi menjadi berhala.
Umat muslim Masjid LaoTze Jakarta. Berbaju koko sembari engucapkan salam – Assalamualaikum. Tak lupa juga Gong Xi Fat Choi. Di dalam masjid tidak ada kecanggungan untuk saling menghargai.
Umat Buddha berada di dalam Kelenteng Cheng Ho, Semarang. Menyambut ramah sobat Muslim yang ingin berziarah ke Makam Cheng Ho. Sosok yang berjasa mengembangkan agama Islam di Nusantara.
Imlek bukan lagi soal agama, bukan pula soal budaya. Ia telah menjadi milik seluruh bangsa Indonesia. Bukan sejak kemarin, saat Gus Dur berkuasa. Tapi, sudah diwariskan oleh para leluhur.
Lebih dari itu, siapa pun tidak dilarang untuk merayakannya. Bukankah sekadar berbagi kue keranjang dan memberikan angpao juga namanya perayaan. Itu berlaku tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Imlek sejatinya adalah Perayaan Musim Semi. Sebagai masyarakat agraris, leluhur bangsa Tionghoa melihat pentingnya arti dari berakhirnya musim dingin. Saat untuk memulai panen, pada saat musim semi telah tiba.
Itulah sebabnya tradisi yang telah berusia ribuan tahun ini juga dirayakan oleh semua warga Tionghoa di seluruh dunia. Tanpa terkecuali.
Jejak Imlek bisa terlihat dari sejarah kedatangan Tionghoa di Indonesia. Melebur secara sosial melalui perkawinan dengan suku-suku Nusantara lainnya. Membaur dalam budaya, yang kita kenal dengan kata: pembauran.
Sehingga penulis berharap, tidaklah berlebihan jika mengatakan bahwa merayakan Imlek adalah merayakan segala pengaruh unsur Tionghoa yang ada dalam diri kita.
Jejak arkeologi memberikan bukti yang jelas. Ada kelenteng Hok Tjing Rio dan tempat persemayam terakhir Putri Sriwijaya di Pulau Kemaro, Palembang. Ada pula gendering perunggu di sana, yang berasal dari masa Dinasti Han.
Jika mau diurut lagi, masih ada gambang kromong khas Betawi. Orkes yang memadukan alat-alat musik khas Tionghoa.
Batik resmi diakui sebagai warisan Indonesia oleh Unesco. Banyak jenisnya yang tersebar di seantero Nusantara. Salah satu adalah Batik Lasem China, bukti nyata pembauran budaya Jawa dan Tionghoa.
Pembauran budaya ini pun enak disantap. Jika lapar, ingatlah deretan menu yang tersedia ini: soto, kwetiau, bakso, bihun, bakmi, sate, dan lumpia. Semuanya berasal dari dialek hokkien.
Jangan lupa baju koko, busana khas muslim ini telah menjadi saksi. Betapa bangsa kita tidak melihat perbedaan sebagai masalah.
Gus Dur berkata jika ia adalah keturunan Tionghoa. Meskipun hingga saat ini, masih ada yang nyinyir. Dianggap sebagai kampanye agar masyarakat kita tidak usah ribut-ribut.
Namun, melihat kenyataan sejarah bangsa ini, adakah kamu, kamu, dan kamu berani yakin jika dirimu tidak berdarah Tionghoa? Sama tidak yakinnya dengan apakah saya memiliki darah keturunan Jawa, Batak, Makassar, India, atau Eropa.
Dikotomi pribumi dan non pribumi sudah tidak penting lagi. Sama tidak pentingnya dengan arti pembauran itu sendiri. Karena semuanya telah menyatu dalam sebuah hakekat nyata yang bernama Bangsa Indonesia.
Karena itu mari kita rayakan Imlek 2022 dengan penuh kedamaian. Merayakan imlek dengan sebuah instropeksi, bahwa bangsa yang maju seharusnya melihat keragaman sebagai sebuah kekuatan.
Menutup tulisan sederhana ini, saya mengucapkan selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2022 / 2571 Kongszili. Xin nian kuai le, wang se ru yi, gong xi fat choi.
Jayalah Bangsaku, Jayalah Negaraku