Tidak jika yang dimaksud hard news. Tetapi jika yang ditulis feature, soft news, boleh. Begitu Kata Yon Bayu Wahyono, PU di Metasatu.com dan di JSN.
Lihatlah cara Aiman. Dia sering mengambil kesimpulan di akhir topik bahasan. Tetapi kesimpulannya selalu merupakan tanda tanya.
Contoh:
Setelah melihat konstruksi kasus penembakan di KM...bla-bla, ada indikasi telah terjadi penggunaan kewenangan di luar SOP.
Kata "indikasi" itu yang menyelamatkan dari kesimpulan yang terlarang dalam sebuah berita.
Sebenarnya ini sudah diberikan saat pelatihan. tapi ternyata masih banyak yang menganggap menulis berita itu sebagai ungkapan pribadi sehingga selalu menggunakan Pak, Bu, Dik, Tante saat menulis berita.
Menulis berita itu bukan tentang wartawannya, bukan opini wartawannya, bukan pula tentang hubungan wartawan dengan narasumber.
Wartawan di dalam berita itu sudah hilang. Berita dipublish di media (milik) umum, sehingga semua posisinya setara. mau dia bulik kita, bos kita, presiden kita, atau tukang kebun kita. Sama ditulis nama tanpa sebutan atau panggilan.
Yang perlu ditulis dengan lengkap itu jabatannya, kalau polisi atau militer sertakan pangkatnya.
Kalau aku wawancara menteri pertanian, maka aku akan panggil Pak Menteri, bagaimana kondisi petani kita.
Itu karena hubungan personal, aku sebagai wartawan sedang mencari berita.
Tetapi ketika ditulis, ya namanya, ngga lagi pak pak menteri. karena berita itu untuk umum, bukan antara aku dan si menteri. yang baca bisa presiden, bisa jg tukang becak. masa nulis presiden jokowi, joko widodo, nulis camat Pak Simon, misalnya.
Coba dipahami hal-hal yang mendasar dan itu berlakau seterusnya, di media apu pun teman-teman bekerja.
Redaktur itu tugasnya hanya mengoreksi apakah berita itu layak terbit (sesuai pakem jurnalistik, sudah seimbang, tidak SARA, tdk melanggar hukum, dll).
Atau memperbaiki ketika dianggap salah, kurang tepat anglenya. Redaktur akan mengubah itu
Misal dalam peresmian jembatan, teman-teman menulis standar banget, hanya seremoni tentang peresmian jembatan. redaktunya kemudian tahu, jembatan itu bermasalah, atau ada peristiwa lain di dalam peristiwa itu yang lebih menarik.
Maka redakturnya akan mengubah anglenya, sudut pandang, berita itu. Nulis nama, alamat kejadian, dll juga harus tepat karena redaktur bukan ahli geografi. Desa Enom, Jawa Timur, misalnya. Redaktur kemudian searching di kecamatan mana desa itu, di kabupaten mana posisinya. kan lucu. atau kalau redakturnya malas, dibiarin aja. lalu pas berita itu dibaca orang jakarta atau orang papua, dia harus jg cari di google.