NGAWI I JATIMSATUNEWS.COM: Kegiatan webinar pelayanan polri yang responsif gender di Ngawi dilaksanakan 2 hari Rabu dan Kamis, 19-20 /01/2022.
Dimulai pada pukul 09.15 pagi selama 2 hari, diikuti oleh 34 polda, 34 Karo SDM 34 direskrumum, 459 polres.
Pembukaan dilakukan oleh As SDM Kapolri dilanjutkan Materi PPPA. Pembicara pertama dalam kegiatan ini adalah Menteri PPPA. Dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran polri bagi keamaan perempuan dan anak anak.
"Di sana tugas polwan lebih di telankan karena, sesama wanita dan sosok yang dekat kepada anak anak, polwan mampu lebih responsif gender", tuturnya
Selain meningkatkan kapasitas anggota polri dalam pemenuhan hak anak, serta adanya perundangan pendukung, dia juga menyatakan perlunya meningkatkan status unit PPA menjadi direklorat di Bareskrim Polri dan tingkatan dibawahnya.
Adapun Irjen Pol Drs. Wahyu widada,M . Phil menilainpolwan lah sebagai wakil polri yang efektif untuk turun menjadi tangan pertama dalam meminimalisir angka kekerasan pada anak dan perempuan, karena polwan lebih empatik di banding polisi
"Maraknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak dibutuhkan polisi yang mampu memahami perspektif korban untuk memberikan pelayanan terbaik," tegasnya
Masih menjadi tugas yang relevan bagi polwan menurutnya ialah, mengurangi tindak kekerasan oleh oknum polisi, mempromosikan kesetaraan gender dan meningkatkan efektivitas operasional penegakan hukum.
Melanjutkan materinya Irjen Pol Drs. Wahyu widada,M . Phil menilai bahwa Polwan memiliki tantangan tersendiri diantara nya;
1. norma dan stereatip gender terkit peran perembuan yang membatasi partisipasi polwan dalam area profesional tertenru
2. belum adanya penghargaan atau akses karir yang lebih terbuka terhadap penyidik polwan
3. sebagian besar perempuan ditemoatkan diposisi administratif ( misalnya ditugaskan dibidang keuangan atau SDM)
4. pelecehan verbal atau perilaku diskriminatif yang dilakukan olwh koleha polisi laki-laki
Kegiatan mengalir lancar hingga sampai pada kesempatan kompes pol (Purn) irawati harsono menyampaikan materinya.
Berbeda dengan pembicara sebelumnya beliau lebih memilih untuk mendifinisikan kata juga istilah terkait kekerasan anak dan perempuan.
"Seks istilah untuk mendefinisikan laki- laki dan perempuan berdasarkan ciri biologis sedangkan gender istilah untuk mendefinisikan laki” dan perempuan berdasarkan konsteksi sosial budaya," begitu terangnya.
"Adapun perlakuan yang berbeda disebut sebagai affirmative action ( diskriminasi positif) yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu," tutupnya.
Abby Gina (direkrur eksekutif dan pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan ) sebagai pembicara terakhir dalam kegiatan ini menyebutkan adanya beberapa faktor korban kekerasan seksual itu diam.
Faktor-faktor itu antara lain :
1. korban lebih banyak diam / tidak melaporkan karena tabu karena dianggap membuka aib keluarga
2. Korban KBG ( kekerasan basic gender ) di ranah personal dalam beberapa laporan malah dipersalahkan oleh keluarga
3. Ada kekhawatiran bahwa aparat hukum tidak merespon secara serius/ tidak ada tindakan nyata
4. Proses pelaporan dan pemeriksaan yang tidak sensitif gender
5. Korban diarahkan untuk berdamai dengan pelaku
6. Tidak adanya payung hukum untuk merespons kasus KBG yang dialami korban
Dan beliau menyatakan bahwa polri perlu bersikap responsif gender, seperti contoh :
1. Perilaku empati dalam menerima dan merespons laporan pelapor KBG
2. Mencoba memposisikan diri diposisi korban/ membayangkan bahwa mereka adalah kita/ keluarga kita
3. Periksa asumsi/bias gender.
Dian