Oleh: Y.P.B.Wiratmoko*)
ARTIKEL I JATIMSATUNEWS.COM:Seseorang bisa saja menjadi seorang penulis. Tetapi menjadi seorang penulis yang baik dan berbobot tinggi tidaklah mudah. Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi pengalaman sedikit tentang membangun pesan dalam sebuah cerita, khususnya cerita rakyat. Apakah itu dongeng, legenda atau pun mite. Cerita rakyat adalah cerita yang dulu dituturkan secara lisan oleh nenek moyang kita jauh berabad-abad lamanya. Karena telah berkembang lama di masyarakat maka disebut cerita rakyat.
Cerita rakyat semacam itu dituturkan atau ditulis untuk menyampaikan unsur pendidikan bagi masyarakat. Lebih-lebih cerita rakyat yang ditujukan bagi anak-anak. Isi cerita yang disampaikan oleh penuturnya banyak memiliki dampak yang luar biasa bagi perkembangan jiwa mereka. Oleh sebab itu, jika tema yang terkandung di dalam cerita bertentangan dengan nilai-nilai perkembangan karakter anak, dikhawatirkan setelah anak-anak menjadi remaja dan dewasa bisa jadi mereka akan mendapatkan pesan dan kesan yang kurang bijak. Sebagai contoh, berikut saya tuliskan kembali cerita rakyat dari Sumatera Barat yang terkenal yaitu " Malinkundang". Mari kita simak bersama.
MALINKUNDANG
(Cerita Rakyat dari Sumatera Barat)
Terkisahlah pada zaman dahulu kala
Si Sumatera Barat hiduplah seorang janda yang miskin papa
Dengan anak lelakinya hidup sederhana saja
Karena suaminya telah meninggal dunia
Anak itu bernama Malinkundang
Sejak kecil diasuh penuh kasih dan disayang
Wajahnya tampan rupawan
Setelah remaja menggantung harapan
Air Manis nama desanya
Di tepi pantai yang indah memesona
Setiap hari bisa memandang
Banyak kapal yang lalu lalang
Ombak laut terdengar menggelegar
Banyak kapal pergi berlayar
Juga banyak pula yang datang bersandar
Membuat hati kagum bergetar
Malinkundang senang bermain ke pelabuhan
Niatnya kuat ingin mengarungi lautan
Berlayar dan berdagang ke negeri orang
Ingin keluar dari himpitan kemiskinan
Dengan restu ibunya dan bekal seadanya
Malinkundang ikut berlayar kapal orang milik orang kaya
Setelah berlayar bertahun-tahun lamanya
Ia jadi sukses banyak harta bendanya
Di negeri orang Malinkundang sudah beristri
Wajahnya cantik bagaikan seorang bidadari
Selain cantik, ia juga ramah dan baik hati
Jika tersenyum wajahnya berseri-seri
Di rumah, Ibu Malin rindunya menggantung
Dalam doa, semoga anaknya bernasib untung
Walaupun usianya telah uzur
Cita-citanya bertemu Malinkundang tidaklah terkubur
Dikisahkan, Malinkundang sukses berlayar
Menjadi orang kaya dan tenar
Suatu hari kapalnya berlabuh di Teluk Bayur
Terdengar oleh ibunya yang telah uzur
Ia berjalan ditopang oleh tongkat kayu
Di dalam hati ia segera ingin bertemu
Melihat ibunya yang tua dan miskin Malinkundang malu
Ia menyangkal ibunya yang telah lama menunggu
Ibu Malin diperlakukan kasar oleh anaknya
Tetapi ia tetap sabar berserah pada
Tuhan Yang Mahakuasa
Doanya, semoga ia lekas insaf dan bertobat dari dosa
Ketika kapal si Malinkundang bertolak ke seberang
Tiba-tiba badai lautan datang menerjang
Sial nasib si Malinkundang, kapalnya tenggelam
menabrak batu karang
Pecah berkeping-keping menjelma ikan-ikan teri
yang banyak berenang-renang
Malinkundang yang hatinya keras seperti batu
Secara ajaib berubah menjadi batu yang diam membisu
Begitulah nasib Malinkundang si anak durhaka
Cerita legenda yang berasal dari Pulau Sumatera
Cerita legenda "Malinkundang" ini saya tulis dalam bentuk prosa liris agar tampil beda tidak seperti kebanyakan cerita rakyat yang dirulis dalam bentuk prosa. Terlepas dari gaya penyajian tulisan, di sini saya hanya ingin menyoroti sebuah pesan penting yang terkandung dalam cerita ini.
Dalam cerita si Malinkundang ini saya tuliskan bahwa Malinkundang berubah jadi batu bukan karena kutukan seorang ibu, melainkan karena kejadian alam yang ajaib berupa badai ribut angin laut yang menimpa perahunya sehingga terbangun sebuah pesan bijak bahwa anak yang durhaka akan mengalami nasib buruk seperti yang dialami oleh tokoh utama Malinkundang.
Bolehkah pesan dari sebuah cerita rakyat yang telah ada berabad-abad lamanya itu diubah? Menurut hemat saya sejauh tidak mengurangi isi ceritanya boleh dan sah-sah saja. Mengapa? Permasalahannya adalah cerita rakyat terus berkembang sesuai zamannya. Lebih dari itu pesan-pesan moral yang bisa membentuk karakter pembaca harus mencerminkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Seorang anak yang baik harus menghormati orangtuanya (dalam cerita ini 'ibunya'). Demikian pula seorang ibu yang baik layak dan pantas mendoakan anaknya dengan bik dan benar pula. Hubungan ibu dan anak bisa diibaratkan sebagai hubungan anggota tubuh 'mata dan jempol kaki'. Mata sebagai simbol seorang ibu dan jempol kaki simbol dari seorang anak. Jika mata kita sedang sakit, seolah-olah si jempol kaki tidak turut merasakan apa-apa. Tetapi jika jempol kaki kita sedang sakit, mata kita meneteskan air mata turut merasakan kesedihan yang ada.
Saya melihat dalam cerita si Malinkundang peran seorang yang mengutuk anaknya yang durhaka adalah kurang tepat. Mengapa? Karena kasih ibu kepada anaknya itu diibaratkan sebagai sinar matahari yang hanya selalu memberi dan tidak mengharapkan kembali. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak kepada ibunya sepanjang galah. Jika seorang ibu mengutuk anaknya yang durhaka, ini mencerminkan sifat seorang ibu yang pendendam. Ini pesan yang kurang baik. Yang benar adalah mendoakan agar si anak cepat insaf, bertobat dan diampuni segala kesalahan dan dosa-dosanya. Ini berlaku bagi seorang ibu yang selayaknya harus mencintai anak- anaknya. Lalu bagaimana dengan kisah ibu-ibu di zaman ini yang tega membuang bayi maupun membunuh anaknya yang masih bayi? Ini di luar kontek cerita.
Itulah sebabnya seorang penulis harus memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang cukup. Saya menyadari bahwa pesan sebelumnya yang dibangun dalam cerita rakyat si Malinkundang jadi batu karena ia durhaka dan mendapat kutukan ibunya hendak menekankan agar seorang anak tidak boleh berani dengan orangtua. Mesti demikian apakah salahnya jika karakter seorang ibu dalam cerita ini bisa dibangun kembali untuk memberikan gambaran yang jelas bahwa seorang ibu yang bijak mesti memiliki sifat kaaih sayang yang besar kepada anak yang dilahirkannya. Saya berharap tulisan ini berfaedah dan menginspirasi bagi para penulis pemula yang hendak menekuni si bidang tulis-menulis. Semoga.
------
") Y.P.B.Wiratmoko, penulis 100+ judul buku di berbagai bidang ilmu, termasuk buku-buku sastra dan filsafat. Tinggal di Ngawi