Aku perempuan, dengan kebebasan dan keterbatasan.
Menghirup, menatap, melangkah, sebebas burung kemanapun mengayun
Namun untuk kembali, harus tetap pada tempat berpijak. Tak bisa ke lain tempat.
Aku harus di sini, di rumah rahim yang telah melahirkan belahan nyawaku. Yang menanam benih untuk anak-anakku. Mungkin selamanya, atau setidaknya sampai dia menutup usia.
Tlah sangat senja umur yang dia punya, wajahnya dipenuhi kerut, mahkotanya bercahaya putih keperakan, dia dalam cengkeram pengawasan maut yang sewaktu-waktu menjemput.
Maka untuknya pengabdian ini, bukan aku membenci sunnah berpasangan lagi, tetapi izinkan aku memilih, untuk menikahi kehidupan peninggalan.
Sebab akupun akan menua, menjadi keriput, menjadi seperti dia fisiknya. Butuh dituntun, ditatih, dibelai, disayang perhatian.
Kalau aku tak menanam sedari sekarang, bagaimana bisa aku menuai keindahan bulir kuning kelak?
Jadi, maafkan aku duhai yang menginginkanku. Itulah alasan-alasan, mengapa kesendirian ini menjadi pilihan
Meski menahan itu sungguh berat
Meski melawan hasrat itu senyata merenggut hebat
Tapi aku harus kuat
Untuknya yang tak mempunyai sesiapa, selain aku saja, sebagai harapan kelak memandikan mayatnya.