CERPEN I JATIMSATUNEWS.ONLINE: Menikah adalah masalah. Ini yang tertancap di otak jurnalis perempuan dengan panggilan mbak Day itu.
Sebagai janda, dia telah menikmati kesendirian, menjadi kawan. Tidak butuh lagi belaian. Senyum orang-orang yang bahagia karena liputannya lebih menantang ketimbang memikirkan lagi bermesraan. Apalagi dengan lelaki baru yang menurut mbak Day hanya akan menimbulkan masalah saja.
Beberapa orang pernah dekat, ada yang sangat dekat malah. Tetapi begitu pernikahan ditawarkan, spontan Mbak Day menolak. Duda beranak hingga lelaki yang sudah punya istri. Bahkan bujang lapuk wartawan tempatnya bekerja ada yang nekat pula ingin memperistri mbak Day.
Hanya satu alasan yang membuat mbak Day tidak mau menikah lagi. Tak mau lagi mengabdi.
Telah lebih puluhan tahun hidupnya diserahkan pada satu-satunya lelaki, hingga dia pulang ke haribaan. Berkutat dengan rutinitas laiknya seorang istri. Mengurus rumah saja dan melayani suami. Dari pagi hingga ketemu pagi. Tidak ada sedikitpun waktu luang untuk dirinya bersenang-senang. Fokus hanya menyenangkan suami, mertua dan anak.
Meninggalnya suami, menjadi momen mbak Day menemukan dirinya sendiri. Anak-anaknya di asrama semua. Dia hidup sebatang kara.
Susah hidup sendiri mulanya, akan tetapi hobi lama yang kembali ditekuni bisa menjadi penopang. Jarinya bisa menghasilkan uang. Dia jadi penulis novel online juga wartawan koran setelah melewati perjuangan berat. Berkat kawan lama yang menghubungkan kembali dengan dunia menulis.
Mbak Day menikmati betul profesi barunya itu. Slot sebagai wartawan khusus reportase wisata membuat hobi jalan-jalan benar-benar tersalurkan. Bekerja sekaligus masuk ke tempat-tempat wisata gratisan, dengan layanan pula. Siapa yang tak mau? Cuma berbekal kartu pers wartawan.
Dunia ini begitu indah, ingin seluruh penjuru dijelajah.
"Kau tahu pekerjaanku kan?"
"Ya, kenapa?"
"Aku tidak bisa berpijak di sebuah tempat, apalagi mengurus rumah, menjadi istri."
"Aku tidak mencari pengurus rumah."
"Aku tak pandai memasak."
"Aku tak mencari koki."
"Aku sudah tua."
"Apa bedanya, kelakpun aku menua. Bersamamu."
Mantap jawaban Shadeeq. Bujang itu membantah seluruh argumentasi penolakan mbak Day. Membuat aliran sungai di Dam Licin bersorak, makin deras menepuki kekalahan mbak Day berkata-kata.
Hening, Shadeeq membuat mulutnya terkatup. Kesendirian itu nikmat memang, akan tetapi ditemani begini, siapa yang tak suka?
Malu usia terlupakan. Shadeeq membuatnya kembali seperti perawan. Ikan-ikan di ceruk sungai berlompatan, menertawakan sipu malu yang muncul dari rona mbak Day. Sesuatu yang lama tak ia rasakan.
Baiklah, mungkin saja ini cinta. Tapi menikah? Dengan bujang? Mbak Day takut bermasalah.
"Ada aku di sisimu. Kita hadapi semuanya. Hanya satu yang kuminta darimu mbak."
"Apa."
"Cinta."
Geletar gusar menimpa kepala. Bujang ini masih membicarakan cinta setelah semua alasan diutarakan.
"Dengan keadaan diriku seperti ini?"
"Apa yang membuatku harus mundur?"
"Aku tak bisa selalu bersamamu, pekerjaanku seperti burung."
"Asal bersedia menetap di hatiku, ke manapun kau melanglang akan kuantar, atau bila tak bisa tetap kutunggu pulang. Kapanpun, larut sekalipun."
"Ah kau, kenapa tidak dahulu saja kau tercipta untukku?"
"Karena aku adalah masa depanmu."
Kelimpungan, Mbak Day tak bisa lagi melawan perkataan.
"Tapi aku tak bisa memberimu pengabdian."
"Cintailah diriku untuk selamanya. Cukup itu. Aku tahu mbak mau. Kita ke Pak Modin sekarang."
Gamit lengan kekar Shadeeq mengarah tangan mbak Day. Terasa berdesir, gemetar merajai debaran.
"Kenapa sekarang?"
"Ya bersiaplah mbak, tanya-tanya dulu. Apa yang harus kulakukan untuk pernikahan kita."
Sekali lagi, pelangi dan badai beradu mengunang di pandangan mbak Day. Dicubiti kulit tangannya, sakit. Berarti bukan mimpi. Memikirkan, bimbang dan ingin bergantian datang. Menikah? Setua ini? Duh Shadeeq.