Adakah yang lebih indah dari pendar cahya pagi, kala pupil kembali membeliak sekadar mengenali. Tentu, itu utas-utas senyum nan terjuntai di tubir bibirmu, duhai perempuanku.
Senyum itu, masih tetap renyah. Meski busur waktu telah berkali-kali lesatkan lelah, gundah, dan entah--
Kelopak bibir, tempat segalanya berzikir --bukan sekadar lafal takbir, pun percikan api di hati, buncah bah di dada nan kauserupakan madah. Lalu, kaubingkai dengan untaian senyum--masih pula ranum. Seakan, waktu tak mampu sekadar mengubahnya layu.
Adakah lebih syahdu dari belai angin senja di hamparan taman bunga, saat lelah ini memperkosa raga hingga rebah pada akar beringin tua. Tentu desah manjamu, duhai perempuanku. Tentu kelembutanmu saat menyambutku di bibir pintu. Dengan segala keceriaan nan kaupaksa binar sembari menyembunyikan segala beban, juga lelah nan mencengkerammu di selasar hari.
Engkau, adalah muara dari perjalanan selaksa gelisah. Engkau, adalah ujung dari ribuan erang juga cengang. Duhai perempuanku.
Perempuanku ...
Masih kuingat kala lapang dadamu kucabik-cabik. Lalu, tepat di tengah rongga antara jantung dan hati. Kunyalakan api angkara nan kusuling dari dapur Rahwana. Engkau terbakar, perempuanku. Aku tahu itu, meski cinta yang kaubudakkan meyulap debu pembakaran serupa serbuk-serbuk zamruj.
Masih kuingat kala kejamku membongkar tanggul kesetiaanmu. Hingga air mata itu buncah, tumpah, menjadi bah. Kau tak tenggelam. Karena kesetiaan, kasih sayang masih kaujadikan zirah di dadamu. Bahkan, bah itu kini kautelagakan di sudut rumah. Tempat, segala duka, sak wasangka, kecurigaan, kita larungkan.
Perempuanku--
Entah cerita apa nan 'kan kita bukukan kelak. Aku hanya berharap. Engkau kan selalu ada dalam setiap mimpiku. Dan aku, senantiasa kausematkan di keheninganmu.
Gresik, 06 Oktober 2021
#Pingkis Sarung nyari sendal