"Hahahaha,"
"Aku iki sakjane gendeng, opo edan? Eh, opo edan rodok gendeng? gendeng!"
~Kang Samin. Lelaki paruh baya yang sedang tersesat dalam belantara diri. Menggumuli rutinitas tanpa birahi, bersenggama dengan 'kewajiban' tanpa pernah tahu di mana titik kulminasi dari sebuah 'orgasme' rindu atas nama penghambaan. Bahkan, kadang bingung untuk sekadar memaknai makna hubungan antaranya dengan sesama, antaranya dengan keluarga, apalagi memaknai muara dari segala muara hubungan. Kemesraan dengan Sang Hyang Amisesa.~
Habis magrib, bersama istri yang telah mengabdikan diri mendampingi selama tujuh belas tahun. Aku membaca sebuah doa, "ya Allah ... Ampuni kami, sayangi kami, ridai kami, masukkan kami ke dalam surga-Mu dan selamatkan kami dari api neraka."
Bagaimana bisa aku berdoa seperti itu? ini yang aku bingungkan. Ini yang membuatku tak henti-hentinya tertawa. Menertawakan kenaifan, menertawakan kedunguan, bahkan menertawakan tawa itu sendiri. Lah piye, aku menyadari kandungan doa itu menjadi lelucon saat kuucapkan tapi masih saja kuulang-ulang tiap hari. Aku tahu betapa bodohnya aku, alih-alih berdoa untuk sesuatu, kulakukan perbuatan yang menghalangi sesuatu itu menjadi nyata. Anehnya, aku malah menertawakan itu semua. Lalu apa arti tawa itu? Gendeng!
Aku meminta pengampunan. Tapi tiap hari melakukan dosa berulang-ulang. Apa yang kupintakan ampun pada Sang Hyang Widi, itu pula yang menjadi bagian tak terpisah dari jasadku, bahkan mendekam erat di ceruk hati. Serupa kutil di dalam daging. Bagaimana bisa aku meminta ampun bila rutinitas 'dosa' telah menjadi bagian dari spiritualitasku. Padahal, jelas sudah 'rule of game' dalam bertaubat. Nasuha. Menyesali perbuatan itu, berjanji dan bahkan beraksi meninggalkan perbuatan cela itu, baru minta ampun pada Tuhan. Lah, aku. Tidak!
Hahaha ... Aku meminta disayangi pula. Padahal ..., aku sendiri tak paham apa itu arti kasih sayang. Bagaimana bisa aku minta disayang sementara aku sendiri bukan seorang penyayang. Saat melihat duafa, peminta-minta, misalnya, hati ini berdesah,"dia masih bugar kok meminta-minta, dia ..., jangan-jangan seperti yang kerap diberitakan. Tentang seorang peminta yang kaya raya. Rugi dong aku memberikan sedekah pada yang lebih kaya."
Untung rugi masih menjadi standar moral dalam perbuatanku dengan sesama. Bagaimana bisa disebut seorang penyayang? padahal, kasih sayang adalah spektrum murni dari kelembutan hati. Murni sebuah output dari pendar rahman-rahim ilahi. Tentu jauh dari kalkulasi untung-rugi layaknya hukum niaga. Di sini, aku sedang bertransaksi dengan Tuhan saat mulut ini berceracau," ya Allah ..., sayangi kami!"
~Kang Samin. Menggaruk-garuk kepala, mengacak-acak rambut yang mulai berguguran dimakan usia. Lalu menepuk-nepuk pipi kempongnya. Kebiasaan yang selalu dilakukan saat sedang galau dan bingung~
Hmmh ...
Allah, apa aku masih pantas mengharap rida-Mu, surga, dan meminta selamat dari api neraka?
Sementara aku ini masih tetap bengal layaknya anak-anak. Aku masih congkak layaknya remaja tanggung yang baru tahu satu dua jurus silat, aku masih angkuh layaknya orang susah 'ketiban pulung' hingga lupa daratan.
Masihkah aku pantas mendapat rida-Mu?
Sementara tak pernah kusemayamkan engkau pada tiap hela napasku. Tak pernah kesemayamkan engkau di singgasana hati. Bahkan, ruang-ruang hati dan otakku telah penuh dengan perhitungan-perhitungan duniawi, telah kupenuhi dengan kenikmatan dunia. Engkau ... Tak di sana bukan, Tuhan?
~Kang Samin menangis sesenggukan~
Ah!
Mana pantas aku masuk surga sementara kenikmatan surga telah kuambil tunai di dunia. Mana mungkin kaki ini bisa menjejaki pelataran firdaus, sementara jejak langkahku selalu tertuju pada keindahan taman fana.
Ah!
Mana mungkin aku bisa selamat dari api neraka, bila bahan bakarnya kukumpulkan setiap hari. Aku bahkan gemar bermain api dengan menikmati setiap percikan dosa.
Aku ...
Ya, aku selalu bersiasat dengan Tuhan. Mencoba mengelabui Tuhan dengan mencari pembenaran atas setiap kesalahan yang kuperbuat. Sampai pada satu titik 'kesalahan itu benar, dan dosa adalah sebuah tangga ibadah'. Nah!
Allah ...
Gresik, 03 Oktober 2021
#Pingkis sarung mencari sendal.