Banner Iklan

Keseimbangan Menulis Esai

Anis Hidayatie
04 Desember 2021 | 17.09 WIB Last Updated 2021-12-04T10:23:03Z
         Achmad Saifullah Syahid


ARTIKEL I 
Minggu sore ketika udara di Jombang terasa dingin karena baru diguyur hujan, melalui pertemuan daring saya berbincang bersama teman-teman yang mendapuk saya jadi narasumber penulisan. Jujur, saya agak pekewuh dengan sebutan narasumber, pembicara atau istilah lain yang kerap 
digunakan dalam acara seminar, talkshow, atau workshop. Saya merasa lebih nyaman kalau acara semacam itu diniati sebagai belajar bareng atau sinau bareng. Salah satu alasannya, saya tidak lebih pandai, tidak lebih pintar, dan yang pasti tidak lebih berpengalaman dari teman-teman.

Dipandu oleh Mbak Diyah dari Zahra Publisher, acara sore itu menjadi semacam pemanasan atau 
stretching untuk melemaskan otot-otot penulisan. Fokus utamanya adalah bagaimana menulis esai. 
Mengapa esai? Ada apa dengan esai? Esai sebagai “sekadar” bentuk karya tulis ataukah esai sebagai 
metodologi yang memandu kita—meminjam istilah dari Cak Nun—menjadi manusia esai yang menciptakan kehidupan esai? Lantas, mengapa kita mau repot-repot belajar menulis esai?

Semua pertanyaan itu tentu saja tidak saya sampaikan kepada teman-teman, melainkan saya ajukan untuk diri saya. Teknik menulis esai bertebaran di banyak website. Pelatihan dan workshop menulis tiap hari ditawarkan oleh para pendekar penulisan. 

Celakanya, saya jauh dari keahlian para pakar dan kehebatan para pendekar. Hingga hari ini saya belum mampu menulis tema-tema besar yang rumit dan melangit. Kesanggupan saya justru menulis peristiwa kecil dan sederhana yang kerap dijumpai dalam hidup sehari-hari. 

Tulisan saya tidak lebih dari pikiran sporadis tentang hal-hal kecil yang bagi para akademisi dan kaum intelektual sama sekali tidak penting. Demikian pula buku Celoteh Anak yang terbit beberapa tahun lalu tidak lebih dari berbagi pengalaman ketika saya menjadi guru sekolah dasar. 

Momentum guyon bersama siswa kelas satu, militansi moralitas khas anak-anak, kepolosan ungkapan bocah-bocah ahsanu taqwim menelanjangi rasa kemanusiaan. Sebagai manusia dewasa kita perlu berguru pada 
anak-anak. Saya menemukan pola keseimbangan baru.

Kesadaran terhadap pola keseimbangan itu kini terombang-ambing, terseret-seret, tercabik-cabik oleh bias kognitif, bias golongan, bias benere dhewe. Kita hanya mampu melihat bahwa yang benar adalah yang berada dalam lingkaran kita. Di luar lingkaran belum tentu benar bahkan pasti salah. 

Kita mempertengkarkan kebenaran: putih lawan hitam, siang lawan malam, atas lawan bawah, kiri lawan kanan. Bahwa guru selalu benar murid selalu salah bersama implikasi, konsekuensi, serta dampak sebab akibatnya melemahkan kuda-kuda keseimbangan. 

Pada konteks itu menulis esai bukan sekadar persoalan teknis menyusun struktur tulisan, menulis 
paragraf pembuka atau merangkai kalimat. Yang lebih substantif adalah bagaimana kita menyeimbangkan mindset, menatap kenyataan secara apa adanya, menyikapi persoalan secara adil.

Tanpa keseimbangan itu menulis esai akan menjadi pekerjaan teknis tanpa rasa tanpa ruh. Penulis 
esai menjadi juru ketik yang memindahkan gagasan menjadi deretan kata dan kalimat.

Titik tengah esai adalah keseimbangan memandang sesuatu. []

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Keseimbangan Menulis Esai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now