Ada yang berbeda malam ini. Angin berembus kencang, dinginnya menyungkup kulit. Sementara langit tampak kelabu. Tertutup gumpalan awan pekat. Suara serangga mulai tak terdengar ramai. Padahal biasanya saling bersahutan layaknya kompetisi di panggung pencari bakat.
"Sepertinya mau turun hujan," desah Kang Samin.
Tangannya sibuk membenahi sarung kusamnya. Sekadar berusaha melindungi tubuh kurus dari terpaan dingin. Sementara mulutnya tak henti-hentinya berdesah. Bahkan lebih mirip ceracau.
"Hmmh--"
Kang Samin tepekur. Pandangan matanya nanar menatap langit. Seakan ingin mengulik setiap celah pada lembar mayapada.
"Sudah lebih dari sepertiga abad. Tapi malam masih enggan membuka tabir wahyu. Setidaknya, sasmita untukku menemukan diri yang entah ..., Adakah aku akan selamanya hilang? tak tahu jalan pulang, namun tak juga menemukan titik tujuan dari sebuah perjalanan. Entahlah--"
Kang Samin tertunduk. Entah kenapa matanya berubah menjadi begitu berat. Di arahkannya pandangan ke sudut teras. Menelusuri ranting-ranting kering bonsai beringin yang telah meranggas beberapa hari ini. Dari ujung satu ke ujung ranting lain. Mata Kang Samin terus berzikir. Hingga pandangan nanarmya terbentur pada akar juntai nan menghunjam tanah pada pot beton.
"Allah! Kenapa kau biarkan gelap malam mendiami dadaku? kenapa engkau biarkan cahaya itu tak menembus hatiku? kenapa?"
Kang Samin mulai berceracau. Titik-titik embun mulai bergelayut di ceruk mata. Napasnya mulai sengal seiring gemuruh gelombang di dada rentanya yang buncah.
"Bukankah gelap malam adalah masa di mana Sang Nabi menerima pelita, hingga menjadi suluh untuk semesta. Bukankah kegelapan pula yang menjadikan Sang Nabi terang benderang?"
"Dalam gelap. Ya, dalam gelap. Cahaya dari selaksa cahaya pernah engkau cipta. Tauladan dari segala partikel kehidupan pernah engkau pendarkan. Pada kegelapan pula telah engkau janjikan sebuah kemesraan paling roman. Lalu, kenapa kegelapan itu menjadikanku kian papa?"
... Kang Samin makin tertunduk. Embun itu telah menjadi hujan. Gelombang di dadanya telah menjadi badai. Tubuhnya bergetar.
Angannya berlesatan dari satu segmen ke segmen lainnya di masa lalu. Mulai kanak, remaja, beranjak dewasa, hingga ahirnya terlempar pada sebuah biduk rumah tangga.
Satu persatu dikulitinya setiap kenangan, setiap perjalanan. Mengurai rindu, suka cita, tangis tawa, romansa, amarah, ketersesatan, atau bahkan kesalihan yang semu belaka.
Ada sebuah harapan samar. Teramat samar. Bahwa akan ia temukan sebuah garis hubung yang tersambung dengan masa kini, yang sedang didiami. Namun, sisa-sia belaka. Nyaris semua penggalan sejarah hanya merupa serpihan puzle. Tak utuh, tak berbentuk. Bagaimana bisa mencipta sketsa diri. Jangankan sketsa menawan, bahkan sekadar memiliki rupa pun tidak.