Manusia hidup mengikuti takdirnya masing-masing. Tak ada yang bisa memilih. Cobaan, ujian sudah ditetapkan, tak ada yang mampu mengubahnya. Kecuali satu ; kebahagiaan. Rasa itu akan melingkup ketika hati penuh syukur dengan keadaan. Berdamai dengan kekurangan.
Dalam gelombang kepedihan, seulas senyum mampu menjadi penawar.
Bulan-bulan pertama Wahyu kabur, Tia seperti kehilangan cahaya. Berat badannya turun drastis, membuat bayi lahir prematur. Orang tua Tia terpaksa menjual hampir seluruh aset warisan leluhur demi menyelamatkan nyawa tak berdosa yang berbobot tak sampai 2 Kg. Biaya rumah sakit benar-benar mencekik leher.
Cahaya kehidupan Tia semakin pudar. Setelah melahirkan dengan operasi caesar, ia terus menangis. Sakit hati pada Wahyu dan denyutan tak tertahan pada luka robekan membuatnya hampir melakukan tindakan gila. Tia bahkan menolak menjenguk bayi di ruangan inkubator.
Saat bisikan iblis menguasai, wanita berbadan lemah itu hendak menerjunkan diri di lantai paling atas bangunan. Ia ingin berpamitan kepada anak lelaki terkutuk yang tega meninggalkan. Terseok sendirian, Tia berjalan menuju ruangan khusus perawatan intensif bagi bayi yang bermasalah. Seorang perawat membantunya memakai pakaian steril dan masker.
Dengan perut berdenyut, Tia menuju makhluk mungil yang selama delapan bulan hidup dalam rahimnya. Mual melanda, melihat bayi bertubuh merah penuh selang melintang menembus kulit. Dada kecil dengan tulang menonjol bernapas susah payah. Mungkin sang bayi merasakan kehadiran ibunya, tiba-tiba saja, tangisan serak menyayat ditingkahi kaki dan tangan kurus berbalut kulit keriput menendang-nendang lemah seolah menjeritkan pesan.
"Ibu, aku takut ...."
Mata Tia berkaca-kaca. Pandangannya tersapu kabut, lelehan sebening embun berhamburan. Membasahi penutup wajah. Menembus ke dalam kain, masuk melalui celah bibir yang terisak.
Kesadaran menghantam, Tia merasa sangat berdosa kepada buah hatinya. Jemarinya bergetar saat menyentuh pembatas kaca yang memisahkan. Ia ingin merengkuh bayi telanjang itu dalam pelukan, memberikan kehangatan, membisikkan harapan.
"Nak, Ibu di sini. Tenanglah, Sayang, Ibu akan selalu bersamamu."
Tangis ibu dan anak itu pecah, beribu doa teruntai melayang ke langit. Meluncur secepat kilat, berkilauan bersama cahaya doa yang lain, menunggu terkabul.
***
Perjalanan spiritual dimulai. Sepulang dari rumah sakit, Tia memutuskan untuk berhijab. Ia bahkan memaksa orang tuanya untuk memanggil Kyai Hasan. Tia bersyahadat lagi di hadapan sesepuh desa yang paling disegani. Memohon restu dan meminta doa agar bisa merawat anaknya sebagai wanita terhormat.
Lebih dari sepuluh tahun mengenyam pahit, membuat Tia dewasa. Ia sadar bahwa keinginan tak harus terpenuhi. Kerasnya hidup mengajarinya bersikap bijak, berani mengambil keputusan dan hanya menggantungkan harapan pada Sang Pencipta.
***
"Tia, Nyonya Dini mencarimu." Bu Mini menepuk pundak Tia yang tengah menyetrika baju. "Tinggalkan saja, biar aku yang meneruskan."
"Baik, Bu."
Tergopoh wanita itu menemui Dini. Dia berdiri di bawah jemuran baju berbau harum. Baru tiga hari yang lalu mereka bertemu, mungkin baju kotor orang kaya memang cepat menumpuk.
"Mau memcuci baju, Nyonya?"
"Iya, tadi sudah ditimbang sama bosmu."
"Kata Bu Mini, anda mencari saya? Maaf ada keperluan apa, nggih?"
Embusan angin tengah hari membuat rambut kecoklatan sepunggung itu meriap. Dini merapikannya perlahan, menjepit dengan jemarinya yang lentik.
"Aku ingin melamarmu, Tia."
"Maksudnya?"
"Jadilah asisten rumah tanggaku. Aku sangat membutuhkan pembantu."
Tia menggigit bibir bawahnya, "maaf, Nyonya, saya nggak enak sama Bu Mini."
"Pekerjaannya nggak berat, kok. Hanya membersihkan rumah dan cuci setrika."
"Tapi, Nyonya ..."
"Gajinya lumayan," Dini menyebutkan nominal yang membuat pupil mata Tia melebar. "Kutunggu jawabanmu besok sama ngantar bajuku, Oke."
Tanpa menoleh lagi, wanita berusia awal 40-an itu pergi mengendarai motornya. Tia mengembuskan napas. Bingung dengan situasi yang tak disangka.
Ia tak ingin mengecewakan Bu Mini yang telah mengulurkan tangannya. Gaji harian yang tak terlalu banyak bisa membuat Tia bertahan hidup. Meskipun masih belum cukup untuk menyekolahkan Aza. Ia ingin bertahan di penatu itu sampai ada pabrik yang mau menerimanya.
Selepas Magrib, Tia pamit undur diri tanpa menceritakan maksud Dini kepada bosnya. Toh dia juga tahu diri, tak akan semudah itu berpaling karena uang. Walaupun, sejujurnya Tia sangat membutuhkannya.
Pikiran berkecamuk sepanjang jalan pulang. Tak terasa, langkahnya sudah sampai pada kamar kecil tempat melepas penat. Ada yang aneh, biasanya saat mengucap salam, Aza pasti menyambut dengan riang. Pelukan dan kecupan akan dihadiahkan kepada putra yang ditinggal seharian.
Pintu tak terkunci. Dengan mudah Tia mendorong kayu lapuk penuh poster bonek dan mendapati Aza duduk meringkuk di sudut indekos. Rupanya, bocah kurus itu tak mendengar pintu dibuka. Bahu kecil memunggunginya, bergetar naik turun tak bersuara.
Lelah yang mendera setelah seharian bekerja sirna. Bayangan kesedihan menjelma, takut buah hatinya terluka.
"Aza? Sayang? Kamu kenapa, Le?" Tia melepas sandal japit kuning pudar, berlari mendekap bocahnya yang mendadak kaku.
"Aku nggak apa-apa, Ibu." Jemari kurus menyeka air mata dan ingus dari wajah tirus, "hanya kelilipan debu."
"Apa kamu dipukul lagi sama Resa?"
Aza menggeleng.
"Dicubit sama Kevin anak ibu kost?"
Bocah itu tetep menggeleng.
"Apa mungkin diejek Satria?"
Kali ini Aza diam saja.
"Dia berkata apa, Nak? Ceritakan pada Ibu."
"Kata Satria, aku anak miskin nggak bisa sekolah, Bu." Kristal bening kembali meleleh dari sudut mata, bercampur dengan ingus. Aza segera menghapusnya.
Tia menatap mata anaknya lembut, mencoba menenangkannya dengan tepukan di bahu dan belaian lembut pada puncak kepalanya.
"Dengarkan kata-kata Ibu, Nak. Orang miskin itu nggak punya rumah untuk tinggal, nggak punya makanan untuk di makan. Sementara Aza memiliki itu semua. Sabar sebentar lagi, Sayang. Ibu akan mendapatkan uang supaya Aza bisa sekolah lagi. Aza mengerti?"
Bocah itu mengangguk. Tia membuka tas kumalnya. Mengambil dua bungkus wafer warna kuning. Ia membuka dan memberikan kepada anaknya. Aza menerima dengan senyum berbinar. Mulutnya terbuka lebar, memasukkan jajan kesukaan yang selalu dibawakan saat ibunya pulang kerja. Mendung pada wajah polos itu lenyap, digantikan binar bahagia. Ah, semudah itu seorang anak melupakan kesedihan. Tia banyak belajar dari Aza.
Meskipun bibir tersenyum, sebenarnya hati Tia riuh dengan berbagai pertanyaan. Haruskah menerima tawaran Dini? Apakah sopan meninggalkan penatu hanya gara-gara gaji? Di usianya sekarang, pabrik mana yang mau menerima, sementara banyak lulusan SMU yang antri mengular.
Melihat anaknya, Tia sudah mengambil keputusan. Bukankah tujuannya hidup untuk membahagiakan Aza? Kebahagiaan bocah itu adalah pergi sekolah. Tia akan berusaha semampunya untuk menyekolahkan Aza. Meskipun harus mengecewakan Bu Mini.
Bukankah hidup itu pilihan? Manusia bebas memilih dan menjalani sesuai dengan tuntunan yang sudah tertulis di dalam buku putih masing-masing. Apapun hasilnya.
***
Dalam gigil, Tia melangkah menuju rumah Dini. Gemetar wanita itu bercerita kepada bos penatu. Takut dengan reaksi yang bisa membuat hatinya berdenyut. Kekhawatiran tak terbukti. Bu Mini melepaskan Tia dengan titik air mata. Ia bahkan mendoakan Tia mendapatkan kebahagiaan di tempat kerja baru.
Bersyukur, hanya itu yang bisa dilakukan. Bertemu orang-orang baik, menolong tanpa pamrih dan saling mendoakan dalam kebaikan.
Rumah megah berlantai dua itu tertutup rapat. Tia membayangkan membersihkan tempat sebesar itu sendirian. Sesuai dengan gaji yang dijanjikan. Wanita itu menekan bel pintu.
Ting tong. Ting tong.
Lama tak ada jawaban. Kembali bel bergema. Tia menanti dengan jantung bertalu.
Perlahan pintu kayu berukir terbuka. Seorang lelaki membuka. Tia memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas sosok yang datang dengan langkah tegap. Saat pandangan mereka bersatu, Tia merasa terkejut.
Sangat terkejut.
Bersambung Part 6