Pasang iklan disini

 

Lelaki JahanamPart 2

Anis Hidayatie
22 April 2021 | 17.06 WIB Last Updated 2023-03-04T06:34:05Z

11 tahun lalu

Tepat di depan warkop sederhana, motor sport merah berhenti. Pengendaranya turun lalu masuk ke warung. Lelaki bertudung itu melemparkan ransel hitam merk terkenal di kursi kayu. Ia memutar pinggang rampingnya ke kanan-kiri. Melemaskan otot. 

"Bu, pesan kopi susu satu." Dia berkata pada seorang wanita berkaus putih yang berdiri memunggunginya. Sepertinya sedang mengambil sesuatu dari dalam kotak uang. Wahyu duduk, deritan kursi kayu mengiringi. 

Wanita itu belum juga berbalik badan saat menjawab,"Iya, Pak. Tunggu sebentar." 

Wahyu mengernyit, sepertinya tak suka dengan jawaban penjaga warkop. 

'Siapa berani memanggil cowok ganteng dengan sebutan Pak?'

"Saya belum punya anak, Bu."

"Saya juga belum menikah, Pak."

Gadis berkucir kuda itu membalikkan badan. Mata bulatnya bertemu dengan sepasang netra yang agak sipit beralis tebal dibalik tudung. Tia yang siap menyemprotkan kemarahan mendadak terdiam. Bibir mungilnya terbuka, kaget dengan sosok berjaket hitam yang tak jelas wajahnya. 

Lelaki itu perlahan membuka tudungnya. 

Tak pernah melihat cowok setampan ini di dunia nyata. Alis hitam bertaut menaungi sepasang mata berwarna coklat, hidung tanpa cela, rahang kokoh, bibir penuh kemerahan. Sedikit cambang pada dagu membuatnya sempurna! Bumi berhenti berputar. Lima kata berputar-putar dalam otaknya. Cinta. Cinta. 

Tia jatuh cinta pada pandangan pertama. 

"Mas ... kopi susu?"

"Yeah, satu ya, adek manis."

Wajah eksotik Tia memerah, dia salah tingkah dipuji lelaki tak dikenal. Tangannya bergetar, gelas yang diambilnya sampai hampir jatuh. Wahyu tersenyum simpul melihat gadis muda yang kikuk. 

"Hati-hati menuang air panasnya, Dek." 

Tia menghirup udara yang tiba-tiba terasa panas. Sepoi sejuk area gunung Welirang tak mampu mendinginkan detakan jantung yang menggila. Dia mencoba mengambil teko air mendidih di atas kompor.

Gagal. Tulangnya mendadak lemas seperti jelly. Bergetar hebat seperti orang kedinginan. 

"Mau kubantu?"

Tia mengangguk pelan. 

Lelaki jangkung itu berdiri, berjalan gagah masuk ke dalam ruang sempit tempat Tia mematung. Aroma mint menguar dari tubuh Wahyu. Membuat fantasi gadis berusia 19 tahun itu melayang. 

"Bisa minggir sebentar? Aku nggak bisa menuang airnya kalau kamu berdiri di situ."

"Iya, Mas." Tia beranjak dari tempatnya, tak sengaja tubuh mereka bersentuhan. Kejutan listrik membuat Tia hampir pingsan. Bukannya menemani pembeli, Tia lari masuk ke dalam rumahnya yang berada di belakang warkop. 

Wahyu terbahak. 

Lelaki berambut gondrong itu menuangkan air mendidih ke dalam gelasnya. Ia kembali ke tempat duduk dan menyeruput minuman berkafein yang bisa menenangkan jiwa. Jiwanya yang sedang bergejolak. 

***

"Kenapa berlari, Nduk? Ada apa?" Bu Kanti bingung melihat putrinya berderap masuk ke dalam rumah. 

"Mak, ada pembeli. Emak saja yang menunggu warkop. Perutku tiba-tiba mulas." Tia berbohong. 

Bu Kanti berdecak. Heran dengan kelakuan Tia. "Bukannya tadi barusan dari WC, Nduk?"

"Mules lagi, Mak."

Tanpa menunggu jawaban, Tia langsung berlari ke sumur. Ia menimba air dan langsung mengguyurkan ke atas kepala. Mencoba menghilangkan pesona aneh pria tak dikenal. Gadis yang baru lulus SMU itu mendesah. Heran dengan reaksi tubuhnya. 

***

Wajah rupawan yang tempo hari menerjang hatinya terus terbayang. Melekat erat dalam pikiran. Tia mengambil buku di dalam laci, menggambar sosok yang membuat hatinya melonjak ingin lepas dari otot penyangga. Gadis itu terbahak melihat hasil coretannya. Mengerikan! Jauh dari sempurna. 

Dia membiarkan buku tulis yang berisi catatan uutang pelanggan terbuka. Kedua tangannya menyangga dagu di atas meja. Ia baru saja membantu Emaknya membuka warkop. Sambil menunggu surat lamaran pekerjaannya di balas, Tia membantu orangtuanya jualan. 

Musim liburan seperti ini, banyak wisatawan yang berkunjung di desanya. Di kanan-kiri rumah Tia banyak berdiri motel dan vila. Lokasi kolam pemandian air panas yang tak begitu jauh menjadi daya tarik. Warkop Tia pun kecipratan rejeki. Meskipun tidak terlalu ramai, namun cukup untuk menyambung hidup sampai datang akhir pekan berikutnya. Begitu pula dengan Tia dan kebanyakan remaja desa itu, mereka biasanya mengantarkan wisatawan yang menginap untuk mengunjungi area pemandian. 

"Ngelamun apa,?" Suara bariton membuat Tia terlonjak. Ia menoleh ke arah Wahyu yang sedang tersenyum. Menunjukkan deretan gigi seputih susu. 

"Ah! Bikin kaget saja." Tia memegang dadanya, menenangkan gemuruh di dalamnya.

"Pesen kopi seperti kemarin, ya. Sekalian mie goreng spesial."

"Iya, Mas. Tunggu sebentar."

Tia heran, kenapa Wahyu masih ada di sana. Dia mengira lelaki tampan itu sudah pergi meninggalkan desanya. 

"Mas mau ke pemandian air panas?" Tia memberanikan diri bertanya. Menebak lebih tepatnya. 

Wahyu mengangguk. "Iya, sebenarnya aku janjian sama teman. Tapi sayang dia tiba-tiba mencret jadi nggak bisa datang."

Tia hampir tersedak liur mendengar Wahyu bercerita tentang sakit perut yang membuat orang susah jauh dari toilet. 

"Lokasinya gampang, Mas. Tinggal ikuti jalan ini nanti ada tulisan besar di arah kiri. Mas belok saja. Tempatnya nggak jauh dari situ."

"Oke. Namamu siapa, Adek manis? Aku Wahyu."

"Panggil aku Tia. Bukan adek manis."

"Apa kamu mau mengantarkan aku ke kolam air panas?"

Tia berhenti mengaduk mie. Ekor matanya melirik ke arah pemuda tampan yang sudah merebut hati. Akal sehatnya menyuruh menolak ajakan dari pria asing tak dikenal. Tapi, kebodohan yang menang. Toh, biasanya dia juga sering mengantar tamu ke lokasi wisata. 

"Nggak apa-apa, Mas. Nanti jam 10 aku longgar."

"Baiklah, nanti kujemput. Aku menginap di motel samping rumah ini."

Bila cinta sudah menyapa, kejernihan hati tertutupi bahagia. Sedikit benteng praduga tak mampu membendung kekonyolan atas nama cinta. 

Tia tersenyum penuh kebahagiaan. Membayangkan akan berkencan dengan pria setampan dewa. Gadis desa sepertinya tak akan mendapatkan kesempatan kedua, jadi dia harus benar-benar memanfaatkannya. Tak peduli orang mau bilang apa. 

***

"Mau ke mana kamu, Nduk?" Bu Kanti heran melihat putrinya berdandan. Tak biasanya anak gadisnya memakai baju bagus. Dia juga jarang keluar bersama teman-temannya sejak lulus sekolah beberapa waktu lalu. 

"Mau ke pemandian, Mak. Tamu penginapan Pak Karso ingin ditemani jalan-jalan."

"Siapa, Nduk?"

"Itu lho, Mak. Mas ganteng yang beli kopi kemarin sore."

Bu Kanti mengangguk-angguk. 

"Itu dia sudah datang, Mak." Tia melesat meninggalkan Ibunya yang segera mengikuti. 

Wahyu membuka helm teropong. Dia turun dari motor dan mendekati Tia beserta ibunya. Mata Tia berbinar, sosok sempurna itu tersenyum mengalahkan pesona malaikat. 

"Bu, saya mau mengajak Tia ke pemandian." Wahyu mengulurkan tangan ke Bu Kanti. Ibu Tia menyambut uluran tangan Wahyu. Wahyu mengecup punggung tangan yang mulai keriput. 

"I-iya, Le." Bu Kanti tergagap. 

"Kami berangkat, Mak."

"Hati-hati. Pulangnya jangan sore-sore, ya."

Tia mengerlingkan matanya. Dia segera naik ke atas motor sport yang sudah dinyalakan. Gadis itu menggigit bibir. Dengan doa terpanjat, ia memegangi ujung jaket Wahyu. Sebenarnya Tia ingin sekali memeluk punggung lebar itu. Ingin merasakan kehangatan manusia dewa yang menjelma. Namun, akal sehat masih berfungsi. Ia merasa puas hanya dengan menyentuh kain halus itu. 

Perjalanan menuju kolam air panas menjadi kebahagiaan yang sempurna. Sawah membentang luas, berpadu dengan penginapan dan rumah penduduk yang asri. Di sepanjang jalan, banyak pemilik motel yang berdiri di depan penginapannya. Menawarkan kamar kosong bagi pengendara. 

Motor terus melaju hingga melewati area hutan yang jarang dilalui kendaraan. 

"Dek Tia, katanya dekat? Kok belum sampai?" Teriak Wahyu dari balik helm teropong. 

"Sebentar lagi sampai, ke atas sedikit!" Tia ikut berteriak. 

Selama 19 tahun hidupnya, saat inilah puncak kebahagiaan. Sekejap, Tia ingin Wahyu menjadi pacarnya. Bukan, tapi menjadi suaminya. Ia mulai membayangkan hidup bahagia selamanya bersama lelaki idaman. Mempunyai banyak anak dan bersama mengelola usaha penginapan di tanah jatah warusannya. 

Jalan menanjak membuat gadis itu kaget. Ia hampir saja terjatuh.  Wahyu memelankan laju kuda besi, dengan cepat menarik tangan Tia. Melingkarkan ke pinggang rampingnya. 

Tia terkesiap. Sensasi aneh menjalari dasar perutnya. Gadis itu merapatkan pelukannya. Hangat. Pesona Wahyu benar-benar tak bisa ditolak. Iblis mulai menari, membisikkan imaji tentang surga dunia. Tia semakin terperosok, ia memejamkan mata menikmati setiap detakan dan denyutan. 

Wahyu tersenyum tipis.

Kendaraan terus melaju, jalan menanjak dan berkelok bukan halangan. Angin dingin yang berembus menjadi saksi penyerahan sebuah hati. Cinta polos seorang gadis desa yang menitipkan seluruh hatinya kepada pemuda serupa dewa. 

Bersambung Part 3

🍁🍁🍁

Hyiuuuh. Wahyu ini gantengnya kek apa sih, sampai Tia klepek-klepek gak berdaya.

Happy reading

Salam sayang

Novie Purwanti
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lelaki JahanamPart 2

Trending Now