ads H Makhrus

 

Pasang iklan disini

 


Lelaki Jahanam

Anis Hidayatie
19 April 2021 | 06.32 WIB Last Updated 2023-03-04T06:42:42Z
Part 1

Tia memandang putra semata wayangnya yang tertidur pulas beralaskan karpet plastik tipis. Wajah bocah sepuluh tahun itu menunjukkan kedamaian. Jemari kasar Tia membelai kepala Aza, anak yang dilahirkannya tanpa kehadiran seorang bapak. Lelaki itu melarikan diri ketika kandungan Tia berusia enam bulan. 

Satu bulan lalu, Tia nekad merantau ke kota. Emak dan bapaknya sudah melarang. Namun, wanita berkulit sawo matang itu bersikeras hendak mengadu nasib. Dengan menumpang bis, Tia berangkat menuju kota yang konon bisa mewujudkan mimpinya, Surabaya. Mimpi Tia tak banyak. Dia hanya ingin memberikan kehidupan yang layak bagi Aza. 

Upah ketika menjadi buruh tani di desa hanya cukup untuk bertahan dua minggu. Perempuan itu menetap di sebuah indekos sangat sederhana. Kamar kecil beratap asbes dan berlantai semen menjadi saksi kerasnya perjuangan Tia mencari pekerjaan. 

Semula, Tia melamar menjadi buruh pabrik, tetapi tak membuahkan hasil. Akhirnya, dia menerima tawaran menjadi buruh cuci di sebuah penatu sekitar indekos. Sedari kecil, Aza sudah terbiasa mandiri. Tia hanya perlu memasak untuk putranya. Anak itu akan makan teratur dan bermain bersama temannya hingga Tia pulang bekerja. 

"Sabar, Nak. Kalau Ibu sudah gajian, kamu akan Ibu belikan kasur baru," bisiknya lembut di telinga Aza. 

Aza menggeliat, lalu terlelap lagi. Tia masih belum mampu menyekolahkannya. Dia pernah melihat beberapa sekolah, tetapi biaya pendaftaran di awal membuat nyalinya seketika ciut. Padahal di desa dulu, Aza bisa bersekolah dengan gratis. Dia juga termasuk murid yang berprestasi. Namun di kota, semuanya begitu berbeda. Meskipun biaya bulanan gratis, Tia harus membayar uang sekira satu juta agar Aza bisa bersekolah. Tentu saja, Tia tak punya uang sebanyak itu. 

Wanita itu beranjak, mengambil Alquran yang sudah renyuk dari dalam tas dan mulai membacanya. Di kota ini, Tia hanya menggantungkan harapan kepada Sang Maha Penyayang. Ketika sedang beribadah, dia merasakan ketenangan luar biasa disela hari-hari yang terasa berat. Dia bebas menumpahkan air mata dan pengharapan tanpa dihakimi. 

Bahu wanita berusia awal 30-an itu terguncang hebat. Sebenarnya Tia ingin kembali ke desa, tetapi malu. Dia tak sanggup menghadapi kedua orang tuanya yang selama ini sudah banyak membantu. Tia bertekad akan kembali ke kampung halaman membawa kesuksesan agar orang tuanya bangga. Kenyataannya, bisa bertahan hidup sehari saja sudah merupakan keajaiban. 

Tia tak patah arang. Apakah salah jika menggantungkan mimpi setinggi langit? Tia yakin, bila ada kemauan, pasti ada jalan. Securam apa pun, dia rela melaluinya. 

***

"Mbak, tolong antarkan baju ini ke perumahan belakang, ya. Orangnya nggak sempat mengambil karena sedang repot." Bu Mini, bos penatu bergincu tebal, menyerahkan kantong plastik putih berisi baju yang sudah disetrika rapi padanya.

"Iya, Bu."

Cepat-cepat Tia menerimanya dan berjalan menuju rumah pelanggan penatu. Memasuki kompleks perumahan, tak henti-hentinya Tia mengagumi keindahan rumah megah seperti istana. Dia membayangkan entah kapan punya rumah semegah itu. 

"Jangan mimpi kamu, Tia!" Wanita berkerudung hijau kumal itu menepuk pipinya sendiri. 

Tia berdiri di hadapan rumah berlantai dua bercat nuansa kecokelatan. Halaman rumah tampak asri karena ditumbuhi berbagai tanaman hias dan pohon mangga manalagi yang sedang berbuah ranum. Beberapa buah mangga agak matang tergeletak di tanah. Tia berencana ingin mengambilnya nanti setelah selesai mengantar barang. 

Jemarinya memencet bel. Senyum terbaik melengkung di bibirnya. Biasanya para pembantu yang keluar untuk membukakan pintu. Ia sudah hafal dengan kebiasaan itu. 

Seorang wanita beralis tebal keluar. Dia mengenakan hot pants yang memperlihatkan gumpalan lemak pada pahanya. Tia heran. Apakah pembantu zaman sekarang memang berani berpenampilan demikian?

"Saya mengantar baju atas nama Nyonya Dini."

"Iya, betul. Aku Nyonya Dini. Masuk saja Mbak. Letakkan bajunya di atas meja. Pembantuku pulang kampung dan nggak balik-balik. Aku jadi kerepotan mengurusi rumah sebesar ini."

Dini membuka pintu pagar. Tia mengikutinya dari belakang. Lalu meletakkan bungkusan plastik pada meja kaca ruang tamu. 

"Saya pamit dulu. Terima kasih telah memakai jasa penatu kami."

"Iya, sama-sama."

"Maaf, Nyonya. Di depan ada buah mangga yang jatuh. Boleh saya ambil?" Tia memberanikan diri meminta mangga yang bergeletakan di tanah. Ia berkeyakinan, meskipun sudah jatuh dari pohon, harus tetap minta izin pada pemiliknya. 

Dini mengangkat sebelah alisnya. Toh, tanpa perlu diminta, mangga itu bisa diambil diam-diam. Dia merasa agak heran. Jarang ada orang yang jujur seperti Tia.

"Ambil saja, Mbak. Aku kemarin memetik beberapa buah mangga yang matang. Tunggu sebentar, akan kuambilkan."

"Nggak usah, Nyonya. Merepotkan."

"Nggak apa-apa, tunggu sebentar saja."

Wanita bertubuh sintal itu masuk ke rumah dan kembali membawa mangga yang diletakkan di dalam wadah plastik. Tia mengucapkan terima kasih dan segera pamit kembali bekerja. 

Dini memandang sosok Tia dari kejauhan. Wanita berkulit putih itu mengembuskan napas panjang. Lalu kembali ke dalam rumah. Entah apa yang dipikirkannya. 

***

"Nak, ini Ibu bawakan mangga buatmu." Mata Aza berbinar. Bocah berkulit bersih itu segera menerimanya. Lalu mengambil pisau dan dengan cekatan mengupas mangga. 

Bulir bening berserakan di kedua mata Tia. Dia bahagia sekaligus sedih melihat Aza lebih dewasa daripada teman-teman sebayanya. Di saat yang lain masih asyik bermain, Aza sudah pandai mencuci baju, melipat, dan memasak ala kadarnya. Air matanya menetes. Buru-buru jemari kasar itu menghapusnya. 

Seandainya Wahyu masih bersama mereka, pasti keadaan akan lebih baik. Sampai sekarang, Tia belum tahu alasan suaminya melarikan diri. Lelaki berkulit putih itu seakan lenyap ditelan bumi. Tia melihat perwujudan sosok suaminya dalam diri Aza. 

"Aaaw!" Jeritan Aza membuyarkan lamunan Tia. Tepat di depannya, darah menetes dari telunjuk bocah berhidung bangir itu. 

"Aza!" Wajah Tia pias. Tanpa berpikir panjang, wanita itu membalut jemari yang berdarah dengan ujung kausnya. "Hati-hati, Nak."

Air matanya tak terbendung. Tangis Tia pecah saat itu juga. Kesedihan yang bertahun-tahun ditahan akhirnya runtuh. Aza bingung melihat ibunya terisak-isak. Bocah itu merengkuh Tia dalam pelukan. Tangan kurusnya menepuk punggung Tia. 

"Aku nggak apa-apa, Ibu. Maaf telah membuat Ibu menangis."

"Aza, kamu anak yang baik. Maafkan Ibu yang belum bisa membahagiakanmu, Nak."

"Aku ingin cepat besar, Bu. Agar bisa bekerja dan membelikan rumah buat Ibu."

"Aza ...."

Tia merengkuh Aza dalam pelukannya. Mencium ujung kepala bocah itu bertubi-tubi. Membasahi rambut kemerahan dengan air mata dan doa. Berharap segala kebaikan untuk putra tersayangnya. Dia akan berusaha keras, sangat keras dari siapa pun untuk membahagiakan buah hatinya.

Tanpa sadar, hati perempuan itu mengutuk perbuatan Wahyu yang pengecut. Dia berharap bisa bertemu kembali dengan suaminya untuk mencari tahu alasan dia dan Aza ditinggalkan. 

Bersambung Part 2



🍁🍁🍁

Hai para reader tersayang, ketemu lagi dengan kisah terbaru. Cerita ini berdasarkan kisah nyata di sekitar Mak Novie. 

Ambil baiknya, buang buruknya. 
Hidup itu pilihan, manusia bebas memilih apa yang terbaik buat masa depannya.

Happy Reading 💖💖💖

Jangan lupa tinggalkan jejak biar makin semangat kasi cerita terbaik buat reader semuanya.

Salam SayanSayang

Novie Purwanti
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lelaki Jahanam

Trending Now