Kabut tipis mulai turun, menyelinap masuk ke dalam rumah melalui celah-celah. Awal musim kemarau membawa gigil menusuk kulit. Para penduduk banyak yang melindungi tubuh dengan baju hangat. Mencoba melepaskan diri dari rasa dingin. Menjelang dini hari, kebekuan mengamuk. Menyerbu hingga lelap terganggu.
Sore itu, Pak Nyoto baru kembali. Setelah seharian ke kota untuk menyelidiki calon menantunya.
Tia dan Ibunya sudah tidak sabar menanti cerita. Setelah Pak Nyoto makan, mereka langsung mengitari lelaki berkumis lebat itu.
Lelaki berjaket coklat yang mulai memudar menatap anak dan istrinya bergantian. Guratan wajahnya menunjukkan rasa enggan. Hanya kepulan asap membumbung keluar dari bibir sehitam malam. Pada hisapan kelima, ia mematikan puntung.
"Bagaimana, Pak?" Bu Kanti menyentuh lengan suaminya.
Pak Nyoto menarik napas panjang. "Mereka memang mengontrak, Bu. Ternyata, Paman Wahyu tidak menikah. Mereka hanya hidup berdua."
"Apa Bapak menemui Mas Wahyu?" Tia menyela pembicaraan.
"Ya tidak, Nduk. Namanya penyelidikan itu diam-diam. Bapak tanya tetangga sekitarnya."
"Apa benar rumahnya terbakar, Pak?" tanya Bu Kanti
"Kalau itu aku tidak tahu, tapi yang jelas, Wahyu dan pamannya baru seminggu mengontrak di sana."
Harapan menguasai hati Tia. Gadis berlesung pipi itu percaya bahwa Wahyu adalah laki-laki yang ditakdirkan menjadi miliknya. Tugasnya meyakinkan Pak Nyoto agar mau menerima.
"Berarti, Bapak menerima lamaran Mas Wahyu, kan?" Tia memandang wajah Pak Nyoto penuh harap.
"Entahlah, Nduk. Bapak akan meminta petunjuk Gusti Allah dulu. Kamu juga, Tia. Sebesar ini masih bolong-bolong Salatnya. Bagaimana kamu mau jadi istri yang baik kalau masih malas?"
Tia nyengir kuda, "Iya, iya. Nanti setelah jadi istri aku akan rajin salat, Pak."
"Dasar."
Pak Nyoto menyeruput kopi hitam kesukaannya. Pahit manis menyatu menciptakan ketenangan. Mata tua itu menerawang, memikirkan keputusan yang akan diambil. Demi kebaikan putrinya yang masih naif. Ia tahu, sifat Tia yang keras kepala menurun darinya. Putrinya itu tak akan menyerah begitu saja.
Tia beringsut. Ia menyandarkan punggung pada tembok bercat putih kusam. Angannya mengembara. Tak pernah gadis itu menginginkan seseorang sampai hampir gila. Bagaimanapun, Wahyu harus menjadi suaminya. Ia akan menerjang badai, asalkan tujuannya tercapai.
Bila cinta menyapa, semua indra mendadak tak berfungsi. Banyak manusia terjebak, tak bisa melepaskan diri. Ketika cinta yang disangka suci ternyata penuh duri, terlambat! Hanya sesal menghantui.
***
Gigih Tia merayu Bapaknya. Segala macam cara ia gunakan. Gadis itu mendadak rajin membantu di warung. Memijiti tubuh Emak Bapaknya ketika warkop sepi. Ia juga membersihkan area rumah sampai kinclong. Nyaris tak membantah apapun yang diperintah orang tuanya.
Demi memuluskan keinginannya. Berharap semoga Pak Nyoto menerima Wahyu. Setiap malam Tia tidak bisa tidur. Tubuh rampingnya hanya berguling ke kanan-kiri. Matanya terpejam, tetapi tak bisa lelap. Selimut motif bunga yang membungkus diri, tak mampu menghadirkan kantuk. Hingga lingkaran hitam menyapa netra.
Saat yang ditunggu tiba, Wahyu datang dengan pamannya. Waktu Dhuha hangat dengan pancaran cahaya, menjadi saksi pertemuan yang akan menentukan masa depan Tia.
"Bagaimana, Pak Nyoto? Apakah pinangan kami diterima?" Pak Gito bertanya dengan suara bergetar.
"Sebelum menjawab, saya ingin bertanya kepada Wahyu."
"Silakan, Pak." Wahyu menimpali.
"Tia adalah anak kami satu-satunya. Dia yang akan merawat kami di hari tua. Jadi, meskipun setelah menikah, Tia akan tetap tinggal di sini. Mungkin terdengar egois, tapi itulah syarat meminang Tia. Kalau kamu setuju, maka saya akan menerima lamaranmu."
"Saya setuju, Pak," ucap Wahyu tanpa ragu.
Tia yang sedari tadi tegang, kini bisa bernapas dengan gembira. Ia begitu gembira, tak menyadari gelombang besar menanti.
Dua bulan kemudian, mereka menikah. Pak Nyoto menggadaikan surat tanah dan rumah untuk menanggap orkes pantura. Pernikahan putri satu-satunya sangat meriah namun meninggalkan tupukan hutang. Hasil kotak amplop tidak cukup untuk melunasi semuanya.
Seminggu setelah menikah, Wahyu dipecat dari cafe tempatnya bekerja. Tia tidak memperbolehkan Wahyu mencari kerja di kota. Wanita itu menginginkan Wahyu tetap bersamanya.
"Bekerja di sini saja, Mas. Aku nggak mau berpisah denganmu." Tia menyusupkan kepalanya pada dada bidang suaminya. Degup jantung Wahyu membuatnya tenang. Masih tak percaya ia sudah menjadi istri.
"Apa kamu nggak malu punya suami pengangguran?"
Wanita berambut terurai basah menyentuh rahang Wahyu, membelainya lembut. "Besok akan kuantar Mas melamar pekerjaan."
Bola mata Wahyu menerawang jauh. Sebenarnya ada rahasia yang ingin dia ungkapkan. Tetapi, beberapa hal sebaiknya disembunyikan sampai ajal menjemput. Bila dunia tahu, semuanya akan hancur. Wahyu tidak sanggup untuk kehilangan keluarga. Saat ini. Ia memilih bungkam. Biarlah waktu yang akan mengungkapkannya.
***
Wajah Wahyu memerah, setengah berlari ia menghidupkan motor matik putih dan meluncur turun. Meninggalkan tatapan heran Bu Kanti yang sedang menyapu halaman. Sementara di dalam rumah, raungan Tia terdengar. Wanita itu menjerit-jerit seperti kesurupan. Ia memanggil nama Wahyu berulang kali.
Matahari baru saja menyembul, menepis lapisan kabut tipis di wilayah gunung Welirang. Desa Pacet sudah terbangun, terlihat rombongan bercaping berjalan menuju area persawahan. Pegawai penginapan mulai membersihkan halaman, merawat tanaman hias dan menyiapkan makanan untuk para tamu.
Wahyu tak peduli. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Tia. Dari awal, seharusnya ia tidak memilih gadis desa itu menjadi istrinya. Semua kekhawatirannya terjadi. Tia tak jauh beda dengan para wanita laknat itu.
Awalnya, Tia memang polos dan manis. Namun seiring waktu, wanita itu berubah total. Ia selalu mencurigai Wahyu. Cemburu bila Wahyu berbincang dengan wanita lain. Marah-marah bila Wahyu pulang terlambat. Pernah sekali Tia datang ke kolam air panas tempatnya bekerja, melihat suaminya bercanda dengan gadis pengunjung, Tia kehilangan akal. Dia menangis meraung membuat heboh. Terpaksa Wahyu minta ijin atasannya untuk pulang.
Belum lagi sikap mertuanya yang selalu mendukung Tia dengan dalih bawaan bayi. Mereka juga menekannya untuk membayar utang yang menggunung. Wahyu terpaksa menjual motor sport kesayangannya untuk menutupi kekurangan. Gaji kecil sebagai penjaga loket karcis habis dalam kedipan mata.
Kendaraan itu terus menurun dengan cepat. Kelokan demi kelokan dilalui tanpa hambatan. Dalam kemarahan, Wahyu bersumpah tidak akan kembali lagi ke dalam kungkungan. Ia merindukan kebebasan yang dulu mengelilingi. Wanita-wanita yang siap membuka celana bila Wahyu menginginkan.
Berkeluarga ternyata tidak cocok untuknya. Apalagi sekarang, saat perut Tia mulai membesar, layanan ranjang menjadi tak memuaskan. Dulu ia begitu bodoh ingin menjadi pria baik dan bertanggungjawab. Sekarang, lelaki itu muak dengan segala kecemburuan sialan. Sikap posesif yang membuatnya sesak! Lebih laknat dari kejaran dosa indah yang pernah diselami.
Keputusan sudah bulat. Bosan menjadi tahanan, bosan dengan kemiskinan, muak dengan segala kecurigaan Tia dan marah terhadap dunia. Ia ingin kembali, memulai kebebasan yang dulu menjadi nadi hidupnya. Toh, pada dasarnya ia juga tak mencintai wanita yang sekarang menjadi istrinya. Ia hanyalah pelarian yang menyakitkan.
Seringai miring menghiasi wajah pucat. Tamparan angin tak bisa menggoyahkan. Pun dengan anak dikandung badan. Motor terus melaju, hilang bersama serapah dan kekecewaan.
**
Bersambung Part 5
Wahyuu .... Siapa kamu sebenarnya?