Tia memandang lelaki yang duduk di sampingnya. Netra mereka bertemu, tatapan Wahyu menunjukkan keinginan kuat. Menghunjam dalam relung hati. Tia mengerjab, tak percaya dengan pendengarannya.
"Mas Wahyu jangan bercanda. Kita baru saja kenal. Kenapa tiba-tiba ingin menikah?" Suara Tia bergetar, gadis berambut sepinggang itu menggerakkan kaki di dalam kolam air panas.
Wahyu mendongak menatap langit, "Aku yakin kamu gadis baik, Tia. Kapan lagi bisa bertemu dengan calon istri yang sempurna sepertimu. Kesempatan ini nggak akan aku sia-siakan."
"Tapi, Mas, aku belum siap."
"Yakin kamu belum siap?"
Tia mengangguk.
Tanpa diduga, jemari wahyu membingkai wajah Tia. Ia mencium bibir gadis itu dengan lembut.
"Menikahlah denganku, Dek Tia." Suara serak Wahyu kembali memenuhi gendang telinga.
Tia menggigit bibirnya yang masih terasa panas, lalu mengangguk pelan tanpa suara.
Wahyu tersenyum, "Minggu depan aku akan melamarmu."
Bunga-bunga mekar di dalam hati Tia. Dia sama sekali tidak pernah menduga akan mendapatkan jodoh secepat ini. Seorang lelaki rupawan tiba-tiba datang tanpa diundang. Memasuki kehidupannya yang nyaris tanpa cinta lawan jenis.
***
"Bapak, Emak, aku akan dilamar Mas Wahyu minggu depan!"
Orangtua Tia memandang anak gadisnya heran. Mereka sedang melayani beberapa pelanggan saat Tia menerobos masuk sepulang dari pemandian air panas.
"Jangan berkhayal, Nduk. Mana mungkin pemuda kota itu mau sama kamu." Bu Kanti menyahut gemas. "Sana mandi dulu. Bau asemnya sampai ke sini."
Bibir gadis itu mengerucut. Ia berjalan gontai menuju rumah. Memang peristiwa barusan tidak bisa dipercaya. Tia juga belum mempercayainya. Malam harinya, Tia nekat pergi ke penginapan Pak Karso. Rasa rindu membuatnya melupakan akal sehat.
Tapi yang dicari sudah pergi. Wahyu meninggalkan penginapan beberapa jam lalu. Tanpa pamit, tanpa pesan.
Tia terhenyak.
Untuk pertama kalinya, gadis itu membasahi bantal dengan derai air mata karena cinta. Dunianya yang seindah surga dengan cepat menjadi neraka. Ia merasa bodoh karena mempercayai kata-kata lelaki tak dikenal. Tia mengusap bibirnya dengan punggung tangan hingga bengkak. Seolah noda hitam bercokol di sana. Ia Ingin menghapus kenangan yang begitu menyakitkan. Membuatnya merasa berkubang dosa.
***
Kehidupan Tia berubah total. Senyum yang biasanya menghiasi bibir mungil itu sirna. Ia mengurung diri dalam kamarnya. Bergelung dengan kesedihan. Ternyata, dicampakkan begitu menyakitkan. Lelaki itu tak pernah datang. Hampir dua minggu, Wahyu tak menampakkan batang hidungnya.
"Sudahlah, Nduk. Buat apa ditangisi lagi. Kalau Wahyu jodohmu, dia akan kembali. Jodoh itu tak bisa diterka. Hanya Gusti Allah yang mengetahuinya."
Bu Kanti membelai rambut Tia yang meriap tak beraturan. Ia mengambil segelas teh hangat, menyodorkan kepada putrinya yang duduk lemas di ruang tamu. Tia menolaknya. Mendorong gelas sambil menggelengkan kepala.
"Kalau kamu seperti ini terus akan kukawinkan sama Pak Sutris, duda tua bekas RT, lho."
"Emak! Siapa yang mau sama orang tua itu. Meskipun kaya, dia penyakitan." Tia segera mengambil teh dari tangan Ibunya. Ia meminumnya sampai habis. Kehangatan menjalari tubuh gadis itu.
"Aku capek sedih terus, Mak. Buat apa menangisi lelaki pembohong. Betul kata Emak, jodoh itu sudah ada yang mengatur."
"Nah, itu baru anak Emak."
"Hehe."
"Berapa hari kamu nggak keramas, Nduk?"
"Seminggu."
"Pantas saja bau."
"Ya sudah, Mak. Aku mau mandi dulu lalu ke warkop."
Tia hendak beranjak ketika terdengar ketukan dari arah pintu yang terbuka. Gadis itu mendelik. Tak percaya dengan penglihatannya.
"Mas Wahyu?"
***
Pak Nyoto menutup warkop. Tamu dari kota yang membuat putrinya berduka telah datang. Lelaki itu menatap tajam pemuda yang duduk di depannya. Wahyu menunduk, jemarinya tergenggam erat. Tia hanya sempat menyisir rambut, gadis itu duduk di samping bapaknya yang gelisah.
"Sebelumnya saya minta maaf karena tidak sempat mengabari. Perkenalkan, saya Wahyu." Wahyu mengulurkan tangan kepada Pak Nyoto.
Lelaki tua itu bergeming.
Wahyu menarik tangannya dengan kikuk. Pria di sebelahnya menepuk pundak Wahyu.
"Maafkan keponakan saya, Pak. Dia sebenarnya mau sowan ke sini minggu kemarin. Tapi ada musibah. Rumah yang kami tempati terbakar habis. Jadi kami harus mencari kontrakan baru untuk ditempati."
Raut wajah Pak Nyoto mulai tenang. Kemarahan perlahan sirna dan digantikan dengan ekspresi keprihatinan.
"Saya Gito, pamannya Wahyu. Sejak orang tua Wahyu meninggal ketika dia masih SD, saya yang mengasuh dan membesarkannya."
Tia terkesiap. Dia tidak menyangka hidup Wahyu setragis itu. Dia menatap sosok yang sangat dirindukan. Semua luka hati mendadak sirna. Harapan kembali seperti gelombang besar. Membuatnya takut terhempas lagi.
"Setiap orang pasti membawa takdirnya masing-masing," Pak Nyoto menimpali. "Saya ikut prihatin dengan cobaan yang menerpamu, Nak."
"Sebenarnya tujuan kami datang kemari untuk melamar anak Bapak." Ucapan Pak Gito membuat suasana hening. Keluarga Tia saling memandang. Terkejut.
"Maaf? Bisa diulangi?" Suara Bu Kanti memecah keheningan.
Pak Nyoto menarik napas. Pandangannya menyapu wajah-wajah yang masih diliputi keraguan.
"Sebagai satu-satunya keluarga yang Wahyu miliki, saya ingin menunaikan kewajiban. Melamarkan gadis pilihan Wahyu. Diterima atau ditolak itu terserah keputusan Bapak dan keluarga. Saya hanya menjalankan kewajiban sebagai paman."
Pak Nyoto berdehem. "Biarkan kami berembuk dulu. Ini urusan yang harus dipikirkan matang-matang. Pernikahan itu bukan hal main-main. Tanggung jawabnya amatlah besar. Selain itu, kami juga belum tahu banyak mengenai Wahyu."
"Kami mengerti. Kapan kami harus ke sini lagi untuk mengetahui jawabannya?" tandas Pak Pak Gito.
"Seminggu saya rasa cukup." Pak Nyoto mengalihkan pandangan. Ia menatap Wahyu.
"Nak Wahyu, sebagai bahan pertimbangan, ceritakanlah tentang dirimu sekarang. Jujurlah, jangan ada yang ditutup-tutupi."
Semua mata memandang ke arah pemuda yang duduk dengan gelisah. Wahyu mengaitkan kedua tangan, meletakkan di atas lutut. Pandangannya menyapu lantai semen.
"Saya tahun ini genap berusia 27 tahun. Bekerja di sebuah cafe di Jalan Ahmad Yani Surabaya. Karena kebakaran tempo hari, tidak ada yang bisa diselamatkan. Termasuk surat-surat penting. Saya hanya punya KTP sebagai identitas."
Wahyu terdiam. Ia membasahi bibir dengan sapuan lidahnya.
"Kenapa kamu tidak memilih gadis kota? Bukankah di sana banyak wanita cantik?" Bu Kanti bertanya, Tia mencubit paha ibunya. Merasa pertanyaan itu tak pantas terlontar.
"Tia gadis yang baik. Saya berharap bisa menjadikannya istri."
Setelah basa-basi sebentar, Wahyu dan pamannya pamit pulang. Tia dan keluarganya mengantarkan mereka sampai halaman. Tia memandang motor sport sampai hilang ditikungan. Gadis itu melompat-lompat kegirangan.
"Mak, Pak, anakmu ini sudah dilamar. Aku mau nikah sama Mas Wahyu."
"Biar Bapak pikirkan dulu, Nduk. Ditimbang baik buruknya."
"Ayolah, Pak. Aku sudah cocok sama Mas Wahyu." Tia menatap kedua orangtuanya memohon.
"Bapak akan mencaritahu dulu kebenaran cerita Wahyu." Pak Nyoto mengambil kertas dari kantung bajunya. Catatan sebuah alamat kontrakan yang diberikan paman Wahyu.
"Besok bapak akan ke kota."
"Ikut, Pak."
Pak Nyoto memelototi putrinya. Tia menunduk dalam. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang berminyak. Lalu meninggalkan orangtuanya yang masih termenung.
Bersambung Part 4
🍁🍁🍁
Aaaaw! Tia dapat jodoh akhirnya. Tapi siapa sebenarnya Wahyu itu?
Happy reading
Salam sayang
Novie Purwanti