SURABAYA I JATIMSATUNEWS. ONLINE: Telah berlangsung Dialog Khusus terorisme dengan tajuk "Edukasi Bebas Radikalisme-Terorisme," Rabu 29/04/2021 malam di stasiun JTV surabaya.
Terselenggara atas Kerjasama PPI, Pusat Pembinaan Ideologi UNESA dan Polda Jatim. Dalam upaya pencegahan faham radikalisme. Sebagai bentuk kepedulian dan ikut berperan aktif dalam rangka memberikan edukasi tentang bahaya terorisme kepada masyarakat.
Tentang keterlibatan akademisi, Dr. Bambang Sigit Widodo, S.Pd., M.Pd sebagai anggota Tim Kelompok Kerja Karakter dan Ideologi Bangsa Forum Rektor Indonesia mengatakan bahwa Perguruan tinggi memiliki peran penting.
"Perguruan tinggi memiliki peran yang cukup signifikan dalam usaha pencegahan radikalisme," ujar Bambang.
Sementara itu Kepala PPI UNESA Dr. Imam Marsudi, M.Kes menyatakan bahwa usaha pencegahan radikalisme membutuhkan kerjasama banyak pihak. Seperti yang berlangsung di UNESA selama ini. Mendapat dukungan Polda Jatim dan instansi lain.
“Usaha kami membentengi mahasiswa dari paparan radikalisme mendapatkan sampai saat ini mendapat dukungan berbagai pihak. Dari Kepolisian Daerah Jawa Timur dan instansi pemerintah terkait lain," jelas Marsudi.
" PPI UNESA membuat buku panduan yang bisa dijadikan acuan. Telah pula dijadikan sebagai blue print pembinaan ideologi di perguruan tinggi. Kami serahkan kepada Wakil MPR RI, Jazilul Fawaid beberapa waktu lalu ketika beliau ke UNESA," lanjut Marsudi.
Pembicara lain, sekretaris PPI Ahmad Bashri, S.Pd., M.Si mengemukakan hasil penelitian.
"Mayoritas yang banyak terpapar radikalisme adalah usia dibawah 30 tahun. Akumulasinya 59 persen," ungkap Bashri.
Mewaspadai mereka yang tiba-tiba mempunyai sikap tertutup dan merasa benar sendiri ketika sedang berbincang adalah deteksi dini terhadap mereka yang terindikasi gerakan radikal terorisme.
Forum dialog juga menghadirkan saksi hidup korban bom gereja 13 Mei 2018 silam, Yesaya Bayang. Pada peristiwa itu Yesaya sukses menengarai pelaku untuk tidak masuk ke dalam gereja.
Menyaksikan sendiri kejadian meledaknya bom di GKI Diponegoro Surabaya. Menumbuhkan trauma mendalam. Merasa miris dengan keluarga yang rela menjadi martir peledakan.
"Waktu itu, ada 4 anak beserta ayah dan ibunya. Meletakkan diri begitu saja. Untung tidak sampai masuk ke dalam gereja," papar Yesaya.
"Kala itu, saya menatap langsung mata sang anak yang masih sangat kecil. Tubuhnya berisi rompi bom. Remote control dipegang ibunya. Anak itu seolah menangis, tapi tidak bisa minta tolong," lanjut Yesaya.
Kondisi Yesaya sendiri setelah terkena ledakan, berulang kali harus mengalami operasi. Karena ada pecahan logam yang menembus kakinya.
Menyaksikan anak kecil terlibat, membuatnya menyampaikan pesan khusus kepada aparat. Selain tentu saja mengajak kepada semua umat untuk mengedepankan toleransi antar umat beragama.
"Ketika ada indikasi sebuah keluarga terpapar radikalisme, maka yang perlu diselamatkan lebih dulu adalah anak. Kasihan, dia berhak punya masa depan."
Kontributor : Mukhzamilah