Siapa sangka, ternyata sendiri tak mudah dilewati. Padahal dahulu kala sebelum menerima kesepakatan tautan sah sebagai istri, Salikah gadis mandiri. Seperti tak butuh lelaki.
Jari yang dimiliki punya kuasa memerintah kaum adam tunduk patuh. Mata tajamnya cukup disegani kawan pun lawan. Suara getarnya mampu mengheningkan kegaduhan. Tak Syak dia perempuan dengan aroma penguasa di tiap gesture dan gerak langkahnya.
Tak ada yang berani menentang setiap keputusan. Kata-katanya adalah sabda, wajib ditaati, dituruti, karena kalau tidak maka Salikah tak segan memanggil. Berhadapan pribadi. Sesuatu yang sangat dihindari siapapun, termasuk pemuda paling tampan sekalipun, di kelembagaan penerbitan.
Itu semua tidak berlaku bagi Salikah. Perempuan tomboy pemimpin redaksi Majalah kampus. Baginya profesionalisme nomor satu. Ingkar itu, nilai minus atas kinerja akan diberikan. Sehingga tugas menulis atau meliput acara bergengsi edisi selanjutnya tak kan diberikan. Ini sangsi mengerikan. Serupa pe non aktifan. Maka jajaran redaktur tak kan ada yang berani membantah. Dead line selalu dilalui dengan sempurna. Tak ada kata molor tanggal terbit. Pas, sesuai jadwal.
Keadaan berbalik setelah jabatan tak lagi dipegang. Keputusan Salikah menikah, dengan lelaki desa tempat adiknya KKN menutup semua kesempatan karir Salikah di bidang penulisan. Jarinya beralih fungsi. Memegang kapur tulis kini.
Riuh rendah anak didik yang rutin menyambutnya di pintu gerbang SMP swasta desa menjadi pemandangan berbalik dari kesehariannya dahulu. Jemarinya bukan lagi menuding, tapi terkembang, memberikan peluk, usap dan salaman.
Anak-anak desa itu meluluh lantakkan ke akuan Salikah, wajah-wajah polos nan tulus menumbuhkan kelembutan seorang ibu di sisi lain ruang hati. Tak tega berkata keras, apalagi membentak, meski kadang polah mereka menjengkelkan.
Begitupun pada warna kehidupan yang lain. Cinta yang dimiliki pada suami membuatnya enggan membantah tiap perintah. Inginnya menuruti semua keinginan suami sebagai bukti pun bakti pada yang dia cintai.
Tidak merasa berkorban, meski kata orang Salikah bodoh dengan pilihan hidupnya kini. Lelah atau ingin sembunyi dari ambisi target Salikah tak tahu. Yang dia mengerti, sebagai istri dia harus mengabdi.
Itu yang dia pahami dari pelajaran yang diberikan ibu Salikah. Meski istri seorang pejabat, sang ibu selalu meneladankan kebaktian. Mau pergi izin, mau berbuat sesuatu konfirmasi, sehingga tidak pernah dia lihat ibunya berselisih dengan bapak.
Salikah bukan istri pejabat, dia hanya pendamping lelaki desa anak bakul sayur yang mampu menyelesaikan kuliah hingga jadi sarjana. Ini yang dahulu membuatnya tertarik, lelaki itu mampu mematahkan beberapa argumen tentang peran perempuan desa saat diskusi. Ada chemistry, membuat Salikah nyaman. Jatuh hati.
Langsung tergetar begitu pinangan diajukan. Lelaki itu tak mempermasalahkan penampilan, juga fisik Salikah yang saat bercermin Salikah tahu jauh dari cantik.
Lelaki itu hanya berkata, " Saya mau perempuan untuk dijadikan istri, bukan pacar, saya akan mengantarmu pulang dan memintamu pada orangtuamu."
Seketika pelangi berada diantara perbincangan Salikah dan lelaki yang dia panggil Mas itu. Hening, Salikah manut. Pertama kali dibonceng lelaki itu. Dari desa adiknya KKN menuju rumah tinggal yang harus ditempuh sekira 3 jam an.
(bersambung)
Anis Hidayatie